Sabtu, 14 Desember 2019

Pelaku Usaha Online Siap Bikin Izin, Tapi....

Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) memastikan bahwa seluruh pelaku usaha perdagangan elektronik siap melakukan pendaftaran ulang ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam rangka implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Ketua Umum idEA, Ignatius Untung mengatakan kesiapan pelaku usaha karena jaminan Kementerian Perdagangan atas kemudahan proses pembuatan izin usaha.

"Tergantung bentuk dan prosedurnya sih. Kalau dari penjelasan Pak Menteri (Agus Suparmanto) tadi harusnya sih mudah. Kalau benar gitu ya harusnya nggak akan banyak masalah," kata Untung di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (9/12/2019).

idEA, kata Untung, masih menunggu Permendag yang menjadi aturan turunan dari PP Nomor 80 Tahun 2019. Pasalnya, masih ada beberapa isu yang dicarikan solusi. Meskipun proses pembuatan izin melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS).

Isu yang masih dibahas, dikatakan Untung antara lain kriteria pelaku usaha yang wajib memiliki izin dan tidak. Masalah ini sangat berpengaruh terhadap perlindungan konsumen. Isu kedua, mengenai ketakutan pelaku usaha akan pajak.

"Karena persepsinya di pasar pas begitu suruh mendaftar susah kemana-mana karena terikat kan. Nah, kalau memang sudah ada kepastian ini mudah dan bukan untuk diuber-uber pajaknya harusnya sih lebih positif," jelasnya.

Selanjutnya, isu pembuatan izin juga berlaku secara menyeluruh atau kepada pelaku dengan omzet besar saja atau wajib bagi pelaku usaha kecil juga.

"Gitu-gitu masih kita lihat, contoh menjual sewaktu waktu seperti saya menjual handphone itu kan bukan pedagang, tapi kalau itu masuk kategori pedagang yang harus daftar kan repot. Kedua, mekanisme yang daftar dan nggak itu juga nggak gampang, detilnya kita belum diskusi juga," katanya.

Untung melanjutkan, kewajiban domain marketplace yang diwajibkan menggunakan .id (dot id) memberikan tambahan cost yang besar bagi pelaku usaha. Karena, marketplace yang sudah ada sekarang domainnya .com (dot com).

Mengenai kewajiban pelaporan data transaksi, idEA tetap menggunakan sistem yang sudah terintegrasi dengan Bank Indonesia (BI). Untung meminta pemerintah memutuskan kementerian atau lembaga mana yang nantinya mengelola data tersebut.

"Kita dari asosiasi jelas dan player bahwa kita tidak mau memberikan data berkali-kali, ke Kemendag kasih, BPS kasih, Kominfo kasih, BI kasih, nggak. Kita mau cuma pemerintah kompakan dulu kasih ke siapa sudah ke situ," ungkapnya.

Sementara itu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendah, Suhanto syarat pembuatan izin bagi pelaku usaha online akan tertuang pada Permendag atau aturan turunan PP Nomor 80 Tahun 2019. Saat ini beleid tersebut masih dalam proses pembahasan.

Namun, Suhanto menegaskan syarat bagi pelaku usaha kecil atau perorangan yang ingin memiliki izin cukup menyampaikan kartu tanda penduduk (KTP) saja.

"Cukup KTP kalau perorangan, dapat daftar. Tapi kalau mereka sudah masuk kategori PKP, wajib NPWP," kata Suhanto.

Omnibus Law Bakal Tebar Insentif, Dirjen Pajak Kejar Target Baru

Pemerintah menyiapkan undang-undang 'sapu jagat' atau Omnibus Law. Dalam aturan itu juga mengatur tentang perpajakan.

Berbagai insentif pajak juga akan ada di dalamnya. Mulai dari menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan hingga menggabungkan seluruh insentif pajak yang sudah ada menjadi satu bagian.

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengakui, tentu dengan adanya penurunan tarif pajak maka potensi penerimaan pajak bisa berkurang. Oleh karena itu dirinya dituntut untuk memutar otak agar target pajak bisa tercapai.

"Dampaknya kalau turun tarif pasti penerimaan turun kan, sekarang kita mikir bagaimana kompensasinya, ya kita cari basis baru," ujarnya di Gedung Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (10/12/2019).

Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperluas basis pajak adalah dengan mengincar e-commerce. Pajak untuk transaksi digital sendiri payungnya sudah dibentuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

"Kemudian melakukan pembetulan sebelum melakukan pemeriksaan dengan besaran denda yang lebih rendah. Itu akn men-encourage basis baru. Tahun 2020 akan kami jalankan itu. Paling tidak kita mendudukkan bahwa yang bayar pajak harusnya lebih besar lagi," tuturnya.

Dalam omnibus law pemerintah akan menurunkan PPh Badan yang saat ini 25% menjadi 20% secara bertahap. Pada 2021 akan diturunkan menjadi 22% dan 20% pada 2023.

Perusahaan tercatat di pasar modal juga akan ditambahkan penurunan PPh sebesar 3% selama 5 tahun sejak IPO (Initial Public Offering/ Penawaran Saham Perdana). Pajak dividen juga akan dihapus dari sebelumnya dikenakan 25%, serta masih banyak lagi insentif perpajakan yang disiapkan.

Tahun depan target penerimaan pajak tetap bertumbuh meskipun hanya tumbuh 4,12% dari target 2019 atau sebesar Rp 1.642,57 triliun.

Pelaku Usaha Online Siap Bikin Izin, Tapi....

Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) memastikan bahwa seluruh pelaku usaha perdagangan elektronik siap melakukan pendaftaran ulang ke Kementerian Perdagangan (Kemendag) dalam rangka implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).

Ketua Umum idEA, Ignatius Untung mengatakan kesiapan pelaku usaha karena jaminan Kementerian Perdagangan atas kemudahan proses pembuatan izin usaha.

"Tergantung bentuk dan prosedurnya sih. Kalau dari penjelasan Pak Menteri (Agus Suparmanto) tadi harusnya sih mudah. Kalau benar gitu ya harusnya nggak akan banyak masalah," kata Untung di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (9/12/2019).

idEA, kata Untung, masih menunggu Permendag yang menjadi aturan turunan dari PP Nomor 80 Tahun 2019. Pasalnya, masih ada beberapa isu yang dicarikan solusi. Meskipun proses pembuatan izin melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS).

Isu yang masih dibahas, dikatakan Untung antara lain kriteria pelaku usaha yang wajib memiliki izin dan tidak. Masalah ini sangat berpengaruh terhadap perlindungan konsumen. Isu kedua, mengenai ketakutan pelaku usaha akan pajak.

"Karena persepsinya di pasar pas begitu suruh mendaftar susah kemana-mana karena terikat kan. Nah, kalau memang sudah ada kepastian ini mudah dan bukan untuk diuber-uber pajaknya harusnya sih lebih positif," jelasnya.

Selanjutnya, isu pembuatan izin juga berlaku secara menyeluruh atau kepada pelaku dengan omzet besar saja atau wajib bagi pelaku usaha kecil juga.

"Gitu-gitu masih kita lihat, contoh menjual sewaktu waktu seperti saya menjual handphone itu kan bukan pedagang, tapi kalau itu masuk kategori pedagang yang harus daftar kan repot. Kedua, mekanisme yang daftar dan nggak itu juga nggak gampang, detilnya kita belum diskusi juga," katanya.

Untung melanjutkan, kewajiban domain marketplace yang diwajibkan menggunakan .id (dot id) memberikan tambahan cost yang besar bagi pelaku usaha. Karena, marketplace yang sudah ada sekarang domainnya .com (dot com).

Mengenai kewajiban pelaporan data transaksi, idEA tetap menggunakan sistem yang sudah terintegrasi dengan Bank Indonesia (BI). Untung meminta pemerintah memutuskan kementerian atau lembaga mana yang nantinya mengelola data tersebut.

"Kita dari asosiasi jelas dan player bahwa kita tidak mau memberikan data berkali-kali, ke Kemendag kasih, BPS kasih, Kominfo kasih, BI kasih, nggak. Kita mau cuma pemerintah kompakan dulu kasih ke siapa sudah ke situ," ungkapnya.

Sementara itu, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kemendah, Suhanto syarat pembuatan izin bagi pelaku usaha online akan tertuang pada Permendag atau aturan turunan PP Nomor 80 Tahun 2019. Saat ini beleid tersebut masih dalam proses pembahasan.

Namun, Suhanto menegaskan syarat bagi pelaku usaha kecil atau perorangan yang ingin memiliki izin cukup menyampaikan kartu tanda penduduk (KTP) saja.