Selasa, 17 Desember 2019

Wisata Kuliner Murah Meriah di Osaka

Mau wisata kuliner di Jepang, Osaka adalah tempatnya. Khususnya di Kuromon Market yang harganya murah meriah.

Wisata Kuliner memang menjadi salah satu cara mengenal tempat wisata yang kita kunjungi. Kita bisa tahu apa saja ciri khas dari suatu tempat dan bagaimana kultur di dalamnya. Seperti kuliner seru yang sayang buat dilewatkan saat kalian berkunjung ke Osaka, Jepang. Kuliner seafood yang enak dan cara penyajian yang unik. Tempatnya bernama Kuromon Market, Nipponbashi - Osaka.

Buat kalian yang akan berkunjung ke Osaka jangan lewatkan kulineran seru dan lezat di dapurnya Osaka. Ya tempat satu ini mendapat julukan dapurnya Osaka karena memang seperti layaknya dapur yang menyajikan makanan fresh yang baru akan dimasak jika pembeli sudah memilih.

Tempat ini bernama Kuromon Market ( Kuromon Ichiba Market) yaitu pasar segar dan seafood yang besar di Osaka. Banyak jenis seafood yang tersedia disana. Mulai dari yang ukurannya kecil seperti baby octopus sampai yang besar seperti King crab. Harganya pun beragam sesuai ukuran dan jenis seafoodnya. Jadi kalian bisa pilih sesuai keinginan kalian baru deh dimasak. Tapi ada juga beberapa jenis seafood yang bisa dimakan mentah seperti bulu babi atau scallop serta sajian sushi dan sashimi yang menggoda.

Sedikit tips ya jika kalian ingin mencoba seafoodnya coba telusuri dulu pasarnya. Karena jika kalian beruntung kalian bisa dapat harga miring dan diskon. Ya ada beberapa toko yang di jam tertentu memberi diskon besar untuk makanannya. Salah satunya daging kobe yang bisa di atas 3.000 YEN, disini kalian bisa coba seharga 1.000 YEN untuk ukuran yang sama.

Ada juga toko yang memberi sampel makanan. Beberapa toko ada yang sudah menyediakan kursi dan meja walaupun hanya sedikit. Tapi ada juga toko yang tidak menyediakan tempat makan. Nah tidak perlu khawatir ada tempat khusus kok seperti rest area yang disediakan. Jadi kalian bisa makan, ada akses wifi gratis juga toilet.

Di Kuromon Market ini kita juga bisa mencicip buah segar khas jepang sesuai musimnya. Kebetulan musim panas ini kalian bisa icip aneka buah anggur yang tidak biasa. Salah satunya jenis anggur muscat yang harganya cukup mahal jika dibanding dengan harga buah lainnya. Kemudian ada juga buah jeruk yang bisa dimakan dengan menggunakan sedotan.

Untuk bisa sampai ke Kuromon Market ini kalian bisa berjalan kaki sekitar 15 menit dari Dotonbori. Atau sekitar 2 menit dari stasiun Nipponbashi. Bisa di akses lewat maps juga jadi dijamin gak akan nyasar. Jadi silahkan datang deh cicip kuliner seafood segar ala Jepang.

Mengapa Banyak Orang Bali Namanya Made, Kadek, dan Wayan?

Kalau kamu main ke Bali pasti sering menemukan orang yang namanya sama, misalnya Wayan atau Made. Apa ya makna pada nama-nama itu?

Ungkapan nama adalah doa tepat untuk menggambarkan bagaimana sebuah nama dibuat tak cuma sebagai identitas seseorang tapi juga menyimpan makna dan harapan bagi si pemilik. Hal ini tercermin dari sistem penamaan berbagai suku bangsa di Indonesia yang unik.

Setiap suku atau kelompok punya aturan sendiri dalam menyusun nama, salah satunya orang Bali yang menurut jurnal Temajaya (2017) disusun dari unsur jenis kelamin, urutan kelahiran, dan sistem kasta. Penggabungan ketiga unsur ini seringkali membuat nama orang Bali menjadi panjang.

Unsur jenis kelamin umumnya mengawali nama orang Bali. Kata seperti 'I' atau 'Ni' digunakan untuk membedakan jenis kelamin dimana 'I' diberikan untuk laki-laki sedangkan 'Ni' untuk perempuan.

Suku Baduy yang Menyatu dengan Alam

Bertemu Suku Baduy di Banten, kita akan belajar banyak tentang kearifan lokalnya. Semangat gotong royong, keramahan, dan kehidupan yang menyatu dengan alam.

Liburan musim panas kami di Indonesia kali ini terasa istimewa, karena hanya mengunjungi objek-objek wisata di Pulau Jawa. Salah satu tujuan wisata yang begitu menarik buat kami adalah perkampungan Suku Baduy yang bermukim di wilayah Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Pemberian nama Baduy berasal dari peneliti Belanda. Hal ini kemungkinan besar dikaitkan dengan kebiasaan masyarakat tersebut dahulu kala yang hidup nomaden seperti Suku Badui di jazirah Arab. Pendapat lain menyebutkan, nama Baduy berasal dari nama Sungai Cibaduy yang terletak di bagian utara Desa Kanekes. Tidak heran bila mereka lebih suka disebut orang Kanekes.

Suku Baduy terbagi dua yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar. Suku Baduy Dalam yang bermukim di tiga desa yaitu Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo, samasekali tidak tersentuh budaya luar atau modernisasi. Mereka begitu kukuh dan taat menjalankan adat istiadat leluhur.

Mereka hidup begitu alami, sederhana, rukun dan senantiasa bergotong-royong dalam keseharian. Suku Baduy Dalam berpakaian didominasi warna putih, sebagai perlambang kesucian. Kemana pun mereka bepergian mereka berjalan tanpa alas kaki.

Adapun Suku Baduy Luar, yang bermukim di beberapa kampung di sekitar kaki Gunung Kendeng, sedikit banyak sudah membuka diri dengan arus modernisasi. Pakaian mereka didominasi warna biru tua atau hitam, perlambang mereka sudah tidak murni lagi atau sudah terpengaruh budaya luar.

Mata pencaharian utama Suku Baduy adalah bertani dan berladang.

Sistem kepercayaan mereka disebut Sunda Wiwitan.
Kepercayaan yang memuja nenek moyang sebagai bentuk penghormatan. Mereka percaya bahwa mereka mengemban tugas untuk menjaga harmoni dunia.
Suku Baduy pun beranggapan bahwa sesungguhnya mereka keturunan dari Batara Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi.
Kepala Adat Suku Baduy disebut Puun dan wakilnya disebut Jaro.

Beruntung saya mempunyai rekan yang bekerja di Dinas Pariwisata Provinsi Banten, sehingga saya dapat informasi yang terbaik, bagaimana saya dan suami yang seorang WNA bisa berkunjung dan menginap di perkampungan Suku Baduy.

Kami sampai Ciboleger sekitar pukul 11.00 siang. Selanjutnya kami mendatangi rumah pemandu, seorang penduduk Baduy Luar. Kami beristirahat sejenak di rumah beliau. Perjalanan berlanjut menuju Kampung Gazeboh dengan berjalan kaki di bawah terik sinar matahari. Kami sampai di Kampung Gazeboh sekitar pukul 15.00 dengan berpeluh keringat.

Di Kampung Gazeboh inilah kami dititipkan, oleh pemandu, pada sebuah keluarga Baduy Luar untuk beristirahat dan bermalam. Di rumah sederhana nan alami dari Suku Baduy yang dibangun dari Batu kali, bambu, kayu dan atap sirap.

Setelah santap sore yang nikmat sekitar pukul 17.00, kami kembali berjalan menjelajahi sudut-sudut desa. Setelah melaksanakan ibadah shalat maghrib dan Isya, kami beristirahat. Suasana begitu sepi dan gelap, karena memang tidak ada listrik apalagi sinyal telepon seluler.

Ada banyak tabu atau larangan, teristimewa lagi bila saat berlangsungnya tradisi Kawalu, yang harus ditaati pengunjung, seperti tidak boleh gaduh, membunyikan radio, alat musik, menggunakan sabun, detergen dan lain-lain. Termasuk larangan bagi WNA memasuki perkampungan Baduy Dalam.

Karena suami yang seorang WNA, jd kami tidak dapat melanjutkan perjalanan ke Baduy Dalam. Sehingga setelah sarapan pagi, kami putuskan untuk mengitari beberapa Kampung Baduy Luar lainnya, dan selanjutnya menempuh perjalanan pulang ke Ciboleger.

Perjalanan yang melelahkan dan menguras tenaga, tapi kami begitu menikmatinya. Bersyukur kami masih diberi kesempatan melihat langsung kearifan lokal masyarakat Suku Baduy yang begitu gigih menjaga kelestarian alam, dan menjunjung tinggi adat istiadat yang diwariskan leluhur mereka.

Indahnya Indonesia!