Perburuan lumba-lumba di Taiji, Jepang banyak mendapat kecaman. Peneliti pun ikut angkat bicara soal perburuan sadis ini.
Kota Taiji, di Provinsi Wakayama, Jepang sudah terkenal sebagai pusat perburuan lumba-lumba yang sadis. Pada bulan September-Maret setiap tahunnya, nelayan akan melakukan tradisi penangkapan lumba-lumba dengan cara brutal.
Hal ini menimbulkan banyak kritik kepada pemerintah Jepang. Tak terkecuali peneliti di Indonesia, seperti yang diwawancarai oleh detikTravel, Senin (4/2/2019).
"Memilukan, harusnya International Union for Conservation of Nature (ICUN), sebagai lembaga konservasi international menentang keras kepada pemerintah Jepang. Karena biota tersebut sudah masuk ke daftar merah Appendix I CITES," ujar Dharmadi, Badan Riset Sumber Daya Manusia Kementerian Kelautan dan Perikanan (BRSDMKP).
Pembantaian ini juga disebut sebagai kedok tradisi. Terlihat dari mahalnya harga seekor lumba-lumba hidup yang ditawarkan kepada wahana akurium dari berbagai daerah, bahkan negara.
Per ekornya, lumba-lumba bisa dihargai USD 150.000 atau sekitar Rp 2.097.382.500. Ini mengapa perburuan yang sudah ada dari abad ke-17 ini masih terus berlanjut.
"Luar biasa harganya. Saya kira hal ini yang mendorong perburuan dengan dalih tradisi," ujar Dharmadi.
Dharmadi juga menambahkan, bahwa tradisi harusnya hanya dilakukan untuk kepentingan masyarakat lokal. Bukan industri, apalagi dalam skala besar.
"Kalau tradisi biasanya hanya untuk konsumsi masyarakat lokal," jelas Dharmadi.
Pemerintah Jepang sendiri memberi batasan dalam jumlah perburuan. Namun angka yang diijinkan begitu fantastis, yaitu 2000 ekor lumba-lumba yang bisa bercampur dengan spesies pesut.
"Ini yang harus ditentang, sepertinya ada orientasi bisnis. Saya menduga untuk kebutuhan di restoran sebagai hidangan dalam bentuk sashimi. Dugaan saya mungkin ini sudah international business oriented or mafia international," kata Dharmadi.
Pulau Terbesar Pinggiran Rusia Mulai Dibuka Bagi Turis
Pulau terbesar di Rusia ini mulai dibuka untuk kunjungan turis. Lokasinya juga berada di ujung utara Jepang.
Melansir CNN Travel, Senin (4/2/2019), inilah Pulau Sakhalin. Pantai berpasir hitam membentang sejauh mata memandang dengan hiasan salju.
Itu bukan satu-satunya kejutan yang ada di pantai terpencil ini. Sakhalin, pulau terbesar Rusia sepanjang 1.000 kilometer, terjepit di antara Laut Okhotsk di timur dan Laut Jepang di barat.
Sakhalin adalah pulau yang jarang ditapaki wisatawan. Meski pulau ini mengalami peningkatan pengunjung dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar terkait dengan pengembangan dan eksploitasi ladang minyak dan gas lepas pantai.
Visa baru yang disederhanakan dan diperkenalkan baru-baru ini menajadi jalan mudah bagi wisatawan. Sakhalin telah menyimpan berbagai pengalaman yang benar-benar unik dan antimainstream hingga pantai-pantai di sekitar Starodubskoye.
Perjalanan ke Sakhalin dimulai dari ibu kotanya, Yuzhno-Sakhalinsk. Di sinilah sebagian besar infrastruktur wisata berada, termasuk satu-satunya bandara internasional di pulau itu dengan penerbangan harian ke Moskow, Tokyo, Seoul dan Sapporo serta beberapa daerah lainnya.
Bahkan, beberapa orang bepergian ke Sakhalin hanya untuk liburan ke kotanya. Seperti kota-kota Rusia lainnya, bangunannya bergaya Soviet yang mencolok.
Kota Yuzhno-Sakhalinsk termasuk sederhana dengan jalan-jalan luas ditata rapi. Landmark terkenalnya Victory Square, di mana berdiri Katedral Ortodoks Nativity dengan kubahnya yang berwarna emas dan di sebelahnya ada Museum Militer Yuzhno-Sakhalinsk sisa Perang Dunia II.