Rabu, 29 April 2020

5 Negara yang Lakukan Uji Coba Terapi Plasma Darah untuk Obati Corona

Terapi plasma darah diuji coba sejumlah negara untuk mengobati pasien virus Corona khususnya dalam kondisi kritis. Pengobatan dengan terapi plasma darah dilakukan dengan menyuntikkan plasma darah yang mengandung antibodi dari pasien sembuh Corona pada pasien COVID-19 yang masih berjuang melawan penyakit ini.
Sejumlah negara pun tengah menguji coba keampuhan dari terapi plasma darah, adapula yang sudah melaporkan keberhasilan dari terapi plasma darah. Berikut lima negara yang melakukan uji coba terapi plasma darah dirangkum detikcom dari berbagai sumber pada Rabu (29/4/2020).

Amerika Serikat
AS telah memulai proyek besar-besaran untuk meneliti terapi plasma darah dengan melibatkan lebih dari 1.500 rumah sakit. Proyek nasional ini dilakukan hanya dalam tiga pekan dan sekitar 600 pasien telah menerima pengobatan. Profesor Michael Joyner dari Mayo Clinic yang memimpin proyek ini.

"Hal yang kami pelajari dalam pekan pertama penelitian adalah tidak ada masalah keamanan besar yang muncul dan pemberian produk (plasma) tampaknya tidak menyebabkan banyak efek samping yang tak terduga," kata Joyner.

Inggris
Menurut Departemen Kesehatan Inggris, pemerintah tengah meningkatkan program nasional untuk mengumpulkan plasma sehingga pengobatan dapat digunakan secara luas jika terbukti efektif. Pengumpulan plasma darah akan ditingkatkan selama April hingga Mei guna mengirimkan hingga 10 ribu unit plasma darah ke Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) setiap pekan, yang cukup untuk merawat 5.000 pasien COVID-19 per pekan.

"Saya berharap setiap pengobatan ini akan menjadi tonggak utama dalam perjuangan kita melawan penyakit ini," kata Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock.

India
Pemerintah Karnataka, negara bagian India, pada Sabtu (25/4/2020) telah memulai uji klinis terapi plasma darah untuk pasien COVID-19 dengan kondisi kritis. Hal itu diumumkan oleh Menteri Pendidikan dan Kedokteran K Sudhakar melalui cuitan di akun Twitternya.

Terapi plasma darah COVID-19 merupakan metode penyembuhan dengan memanfaatkan darah pasien yang telah pulih. Harapannya antibodi dalam plasma darah penyintas bisa melawan virus ditubuh orang yang sakit.

"Senang mengumumkan dimulainya uji klinis untuk terapi plasma yang punya potensi besar untuk merawat pasien COVID-19 dengan skala berat," kata K Sudhakar.

Indonesia
Indonesia termasuk salah satu negara yang menguji coba terapi plasma darah. Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, dr Achmad Yurianto, mengatakan uji coba plasma darah di Indonesia sudah sudah berlangsung dua minggu.

"Masih clinical trial di RSPAD Gatot Subroto, masih uji coba klinis, itu bakal diuji coba langsung ke pasien. Sudah berlangsung dua mingguan," kata dr Yuri ketika dihubungi, Selasa (28/4/2020).

Iran
Mengutip dari Al Monitor, salah satu dari beberapa prosedur perawatan yang dinilai berhasil di Iran adalah terapi plasma darah. Terapi ini disebut meningkatkan tingkat pemulihan di unit perawatan intensif sebesar 40 persen. Terapi plasma darah didapatkan dari sumbangan plasma darah oleh mereka yang telah sembuh kepada seseorang yang tengah kritis.

"Kami memulai terapi plasma sekitar 40 hari yang lalu dan hingga saat ini, 300 orang telah menyumbangkan plasma darah mereka, dan hasilnya adalah penurunan 40 persen dalam jumlah kematian akibat virus corona," kata Dr Hassan Abolqasemi yang memimpin proyek terapi plasma dikutip dari Tehrantimes, Rabu (29/4/2020).

4 Alasan Perokok Rentan Alami Kondisi Fatal Virus Corona

Beberapa hal bisa menyebabkan seseorang rentan terhadap virus Corona COVID-19, mulai dari faktor usia hingga penyakit penyerta atau komorbid. Namun, salah satu hal yang sangat berpengaruh pada kondisi pasien Corona adalah kebiasaan merokok.
Dalam pemaparannya, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr dr Agus Dwi Susanto, SpP(K) menyebutkan bahwa perokok lebih berisiko terhadap virus Corona. Hal ini dibuktikan dengan data dari 12 penelitian di dunia yang menyebutkan dari 9.025 orang, sekitar 17,8 persen perokok lebih berisiko mengalami kondisi buruk.

"Sedangkan yang bukan perokok, hanya mengalami perburukan sebanyak 9,3 persen. Artinya, merokok hampir dua kali lipatnya meningkatkan risiko terjadinya perburukan dari COVID-19," katanya dalam webinar yang diselenggarakan pada Selasa (28/4/2020).

Berdasarkan hal itu, terdapat 4 alasan yang menjelaskan mengapa seorang perokok atau yang mempunyai kebiasaan merokok itu lebih mengalami kondisi fatal saat terinfeksi COVID-19.

1. Mengganggu sistem imunitas saluran pernapasan
Dalam hal ini, dr Agus mengatakan terdapat dua hal yang bisa menyebabkan rokok bisa mengganggu sistem imunitas saluran pernapasan. Pertama, adalah fungsi silia untuk membersihkan saluran pernapasan menjadi terganggu.

Silia berfungsi untuk menyaring dan membersihkan saluran pernapasan, sehingga bakteri dan virus akan dibuang melalui batuk. Tetapi, jika orang tersebut menghisap rokok sebanyak 2-3 kali, bisa melemahkan fungsi silia sebanyak 50 persen bahkan tidak berfungsi lagi.

Kedua, zat radikal seperti nikotin yang ada di dalam sebatang rokok bisa berpengaruh pada sel-sel imunitas tubuh manusia. Nikotin ini akan menekan fungsi sel imunitas seperti leukosit, untuk memerangi virus. Akibatnya, infeksi virus akan menjadi lebih berat.

2. Kadar ACE2 lebih tinggi pada perokok
Sebuah riset mengatakan bahwa seorang perokok bisa meningkatkan reseptor ACE2 sebanyak 50 persen. Hal ini dibuktikan dengan penelitian di Kanada, yang menunjukkan kadar ACE2 pada perokok lebih tinggi 3 kali lipat dibandingkan yang bukan perokok.

Peningkatan risiko buruk terkait COVID-19 juga ditemukan pada rokok bentuk lain, seperti shisha dan rokok elektronik lainnya yang bisa meningkatkan tekanan pada imunitas. Khusus pada shisha, penularan juga bisa lebih mudah melalui pipa yang digunakan secara bergantian.

Jika pipa itu digunakan orang yang terinfeksi, maka virus bisa terus menyebar ke banyak orang.

3. Memperparah penyakit penyerta
Rokok juga berhubungan dengan berbagai penyakit komorbid, yang bisa berisiko tinggi terhadap COVID-19. Seorang perokok bisa meningkatkan berbagai penyakit komorbid, seperti gagal jantung, hipertensi, koroner, PPOK, asma, diabetes, dan gagal ginjal. Bahkan bisa berisiko meninggal dunia.

Berdasarkan data dari RS Persahabatan, sebanyak 63 persen pasien COVID-19 mengidap penyakit komorbid. Tentunya dengan merokok bisa memancing penyakit komorbid bermunculan, sehingga kondisi COVID-19 dalam tubuh semakin memburuk. Beberapa penyakit komorbid yang menyebabkan pasien meninggal, antara lain:

- Hipertensi 30,4 persen
- Diabetes 21,7 persen
- Gagal jantung 4,3 persen
- Asma sekitar 2,2 persen
- dan yang tidak ada komorbidnya hanya sekitar 15 persen.

4. Risiko tangan terkontaminasi
Saat merokok, orang cenderung akan memegang mulut berkali-kali tanpa mencuci tangannya terlebih dulu. Hal ini bisa meningkatkan transmisi virus hingga menyebabkan infeksi COVID-19. Dengan kata lain, risiko terkontaminasi dari tangan bisa sangat besar terjadi.