Kamis, 30 April 2020

Virus corona: Kapan vaksin Covid-19 tersedia, di tengah uji klinis yang telah dilakukan pada manusia?

Virus corona menyebar cepat namun sejauh ini masih belum ada obat untuk mengobati dan vaksin untuk melindungi orang-orang dari penyakit itu.

Para pakar kesehatan bekerja keras untuk segera menghasilkan vaksin.

Mengapa vaksin virus corona penting?
Dengan begitu cepatnya virus menyebar dengan mudah, mayoritas penduduk dunia masih sangat rentan terhadap infeksi. Vaksin akan memberlikan perlindungan terhadap kekebalan tubuh orang dan memerangi virus.

Dengan adanya vaksin, karantina wilayah dapat secara aman dicabut dan jaga jarak juga lebih dilonggarkan.

Seperti apa kemajuan sejauh ini?
Penelitian terus berlangsung sampai saat ini. Sekitar 80 grup di seluruh dunia mulai melakukan penelitian vaksin dan sejumlah di antaranya telah masuk tahap uji klinis.

Percobaan terhadap manusia diumumkan bulan lalu oleh para ilmuwan di Seattle, Amerika Serikat. Hal ini sangat tidak biasa karena melompati percobaan terhadap hewan untuk menguji keefektifan.

Perusahaan farmasi Sanofi dan GSK bergabung untuk mengembangkan vaksin.

Ilmuwan Australia mulai menguji dua vaksin terhadap binatang. Inilah langkah yang paling komprehensif sejauh ini dengan menguji binatang. Para peneliti memperkirakan uji terhadap manusia akan dilakukan pada akhir April.

Para peneliti Universitas Oxford menjadwalkan dapat memproduksi satu juta dosis vaksin pada akhir September dan memulai uji pada manusia.

Namun belum diketahui seberapa efektif vaksin-vaksin ini.

Produksi vaksin biasanya memakan waktu bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun untuk dikembangkan.

Namun para peneliti berharap dapat mengembangkan dalam beberapa bulan ini.

Sebagian besar pakar memperkirakan kemungkinan vaksin tersedia pada pertengahan 2021, sekitar 12-18 bulan setelah virus baru merebak yang secara resmi disebut Sars-CoV-2.

Lankah ini merupakan capaian ilmiah luar biasa namun belum ada jaminan efektif.

Saat ini ada empat jenis virus corona yang berkembang. Virus ini menyebabkan pilek dan belum ada vaksin untuk empat virus itu.

Apa yang perlu kita ketahui tentang virus corona?
Hingga vaksin corona siap, pengobatan apa saja yang bisa kita lakukan?
Vaksin mencegah infeksi dan cara terbaik untuk melakukannya saat ini adalah menjaga higienitas yang baik.

Jika Anda terinfeksi oleh virus corona, maka bagi kebanyakan orang itu akan ringan. Ada beberapa obat anti-virus yang digunakan dalam uji klinis, tetapi kami tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa semua ini berhasil.

Bagaimana kita menciptakan vaksin?
Vaksin secara tidak berbahaya menunjukkan virus atau bakteri (atah bahkan bagian terkecil dari mereka) ke sistem kekebalan tubuh. Pertahanan tubuh mengenal mereka sebagai penyerang dan kemudian belajar bagaimana melawannya.

Kemudian, jika tubuh benar-benar terpapar, dia sudah tahu cara melawan infeksi.

Metode utama vaksinasi selama beberapa dekade terakhir adalah menggunakan virus aslinya.

Apakah vaksin dapat melindungi semua orang dengan segala umur?

Ya, hampir semua orang akan terlindungi, namun kemungkinannya akan berkurang bagi orang-orang dengan usia senja.

Hal itu bukan karena vaksin, namun karena sistem imunitas orang tua yang tidak merespon baik pada imunisasi.

Kita melihat ini setiap tahun dengan suntikan flu.

Semua obat-obatan, bahkan Paracetamol, memiliki efek samping. Tetapi tanpa uji klinis, tidak mungkin untuk mengetahui apa efek samping dari vaksin eksperimental.

Remdesivir Disebut 'Terbukti' Bantu Penyembuhan Pasien Corona

Ada bukti "jelas" bahwa sebuah obat dapat membantu orang pulih dari virus Corona, kata sejumlah pejabat AS.
Remdesivir memotong durasi gejala COVID-19 dari 15 hari menjadi 11 hari, berdasarkan hasil uji klinis di rumah sakit di seluruh dunia.

Rincian lengkap terkait ini belum dipublikasikan, tetapi para ahli mengatakan itu akan menjadi "hasil yang fantastis" jika dikonfirmasi. Mereka juga mewanti-wanti bahwa remdesivir bukan "peluru ajaib" untuk penyakit ini.

Obat yang mumpuni melawan COVID-19 diyakini akan menyelamatkan nyawa, mengurangi beban rumah sakit, dan memungkinkan pelonggaran karantina wilayah.

Remdesivir pada awalnya dikembangkan sebagai pengobatan Ebola. Obat itu adalah antivirus yang bekerja dengan menyerang enzim yang dibutuhkan virus agar dapat bereplikasi di dalam sel.

Uji coba dijalankan oleh Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) AS dan melibatkan 1.063 orang partisipan.

Beberapa pasien diberi obat, sementara yang lain menerima pengobatan plasebo.

Dr Anthony Fauci yang mengapalai NIAID mengatakan: "Data menunjukkan remdesivir memiliki dampak positif yang jelas dan signifikan dalam mengurangi waktu pemulihan."

Dia mengatakan hasilnya membuktikan "obat ini dapat memblokir virus Corona" dan "membuka pintu kenyataan bahwa kita sekarang memiliki kemampuan untuk mengobati" pasien.

Namun, dampaknya pada kematian masih tidak jelas.

Tingkat kematian mencapai 8% pada orang yang diberi remdesivir dan 11,6% pada mereka yang diberi plasebo, tetapi hasil ini tidak signifikan secara statistik. Artinya para ilmuwan tidak dapat mengetahui apakah perbedaan itu nyata.

Tidak jelas juga siapa yang diuntungkan dengan penggunaan obat ini.

Apakah obat itu akan mempercepat pemulihan pasien?

Atau apakah obat itu membuat pasien tidak perlu menerima perawatan intensif? Apakah obat ini bekerja lebih baik pada orang yang lebih muda atau lebih tua? Atau mereka yang dengan atau tanpa penyakit lain? Apakah pasien harus dirawat dini ketika virus dianggap memuncak di dalam tubuh?

Ini akan menjadi pertanyaan penting ketika rincian lengkap obat ini akhirnya diterbitkan, karena obat dapat memiliki manfaat ganda, yaitu menyelamatkan nyawa dan membantu melonggarkan lockdown.

Prof Mahesh Parmar, direktur MRC Clinical Trials Unit di UCL, yang telah mengawasi percobaan di Uni Eropa, mengatakan: "Sebelum obat ini tersedia lebih luas, sejumlah hal perlu dilakukan: data dan hasil percobaan perlu ditinjau oleh regulator untuk menilai apakah obat tersebut dapat dilisensikan. Kemudian obat itu perlu dinilai oleh otoritas kesehatan terkait di berbagai negara."

"Sementara itu, kami akan mengumpulkan data jangka panjang dari uji coba ini dan mencari tahu apakah obat itu juga bisa mencegah kematian akibat COVID-19."

Jika obat itu dapat membuat orang tidak memerlukan perawatan intensif, maka risiko rumah sakit kewalahan akan lebih kecil dan kebutuhan menjaga jarak sosial akan lebih sedikit diperlukan.

Prof Peter Horby, dari Universitas Oxford, saat ini menjalankan uji coba obat COVID-19 terbesar di dunia.

Dia mengatakan: "Kami perlu melihat hasil lengkap, tetapi jika dapat dikonfirmasi, ini akan menjadi hasil yang fantastis dan berita bagus untuk pertarungan melawan COVID-19."

"Langkah selanjutnya adalah mengeluarkan data lengkap dan mengusahakan akses yang adil untuk (distribusi) remdesivir."

Data AS tentang remdesivir keluar bersamaan dengan uji coba obat yang sama di China, yang dilaporkan dalam jurnal medis Lancet. Dilaporkan, obat itu tidak efektif.

Namun, percobaan itu tidak lengkap karena keberhasilan lockdown di Wuhan, yang berarti dokter kekurangan pasien.

"Data ini menjanjikan, dan mengingat bahwa kami belum memiliki pengobatan yang terbukti berhasil untuk COVID, ini mungkin mengarah pada persetujuan cepat remdesivir untuk pengobatan COVID," kata Prof Babak Javid, seorang konsultan penyakit menular di Cambridge University Hospitals.

"Namun, itu juga menunjukkan bahwa remdesivir bukan peluru ajaib dalam konteks ini: manfaat keseluruhan untuk bertahan hidup adalah 30%."

Obat lain yang sedang diselidiki untuk COVID-19 adalah obat untuk malaria dan HIV, yang dapat menyerang virus serta dapat menenangkan sistem kekebalan tubuh.

Anti-virus dipercaya mungkin lebih efektif pada tahap awal, dan obat-obatan kekebalan efektif di tahap selanjutnya.