Minggu, 08 Desember 2019

Ini Masalah Android yang Bikin Google Didenda Rp 72,8 Triliun

Google didenda regulator kebijakan antimonopoli Eropa dalam jumlah luar biasa besar, yakni 4,34 miliar euro atau di kisaran Rp 72,8 triliun. Denda ini dijatuhkan karena Google dianggap menyalagunakan posisi dominan sistem operasi Android.

Dikutip detikINET dari Gizmodo, peraturan Google melisensi Android yang mensyaratkan pembuat perangkat melakukan pre instal aplikasi Google seperti Chrome, YouTube, Gmail, Google Maps dan Play Store, melanggar hukum anti trust dan membuat produk kompetitor tak bisa bersaing dengan adil.

Deal semacam itu dengan produsen seperti Samsung, Huawei, HTC dan lainnya menurut Komisi Eropa adalah bukti Google menyalahgunakan posisi dominannya di industri smartphone.

"Google menggunakan Android sebagai kendaraan untuk memantapkan dominasi mereka di mesin pencarian. Praktik ini menghalangi rival kesempatan untuk berinovasi dan berkompetisi," sebut EU Commisioner for Competition, Margrethe Vestager.

Google tentu tidak terima dan mereka menyatakan akan mengajukan banding. CEO Google Sundar Pichai menandaskan Android justru memberikan lebih banyak pilihan dan juga berkompetisi degan Apple iOS. Lagipula aplikasi pre install bisa dihapus jika pengguna tidak menginginkannya.

"Jika kalian lebih memilih aplikasi lain atau browser lain atau mesin cari lain dibanding yang sudah ada, kalian bisa dengan mudah menghapus mereka dan memilih yang lain itu," sebut Pichai.

"Faktanya, pengguna Android secara umum akan menginstall sekitar 50 aplikasi sendiri. Tahun lalu, ada 94 miliar aplikasi didownload secara global dari Play Store kami, browser seperti Opera Mini dan Firefox didownload lebih dari 100 juta kali, UC Browser lebih dari 500 juta kali," papar dia.

Gara-gara Android, Google Didenda Rp 72,8 Triliun

Regulator kebijakan antimonopoli Eropa menjatuhkan denda terhadap Google. Hukuman denda diterapkan karena Google dianggap menguasai pasar sistem operasi mobile secara tidak sehat dengan Android-nya.

Besaran denda yang dijatuhkan pun tak main-main. Seperti dikutip detikINET dari Reuters, Kamis (19/7/2018), Google diminta membayar 4,34 miliar euro atau di kisaran Rp 72,8 triliun.

Eropa juga memerintahkan Google berhenti memanfaatkan sistem operasi Android miliknya untuk menjegal lawan. Keputusan ini pun membuat Google mengajukan banding.

Hukuman ini hampir dua kali lipat dari rekor sebelumnya, yakni denda sebesar 2,4 miliar euro (sekitar Rp 40,3 triliun) yang wajib dibayarkan Google tahun lalu, setelah layanan pencarian belanja online miliknya dianggap tidak adil bagi para pesaingnya.

Angka denda kali ini setara dengan pendapatan sekitar dua pekan induk perusahaan Google, Alphabet, serta hampir tidak akan mengurangi cadangan kas perusahaannya yang sebesar kuadriliunan rupiah (USD 102,9 miliar).

Namun, dijatuhkannya denda ini disinyalir bisa berdampak pada meningkatnya ketegangan perdagangan di antara otoritas Brussels tempat regulator antimonopoli Eropa bernaung dengan pemerintahan Amerika Serikat di Washington.

Android Tak Lagi Gratis, Ponselnya Bisa Semahal iPhone

Google baru saja dijatuhi denda sebesar 4,34 miliar Euro (Rp 72,8 triliun) karena dianggap memonopoli pasar platform mobile dengan Android. CEO Google, Sundar Pichai pun mengancam bahwa produsen smartphone tidak dapat menggunakan Android secara gratis lagi.

Jika ancaman Pichai ini berbuah nyata, konsumen yang akan paling banyak merasakan dampaknya. Tersedianya Android secara gratis menjadikan berbagai produsen smartphone untuk dapat membuat perangkat yang semurah-murahnya.

"Android mungkin alasan utama anda bisa membeli komputer saku dengan kemampuan magis dengan harga di bawah USD 200," tulis kolumnis Boston Globe, Hiawatha Bray, seperti dikutip detikINET dari Boston Globe, Jumat (20/7/2018).

Android sendiri telah digunakan oleh 1.300 produsen perangkat dan dapat ditemui di 24.000 perangkat di setiap price point.

Dengan memberikan Android secara gratis kepada produsen smartphone, Google juga tetap memperoleh keuntungan dari iklan yang muncul di browser Chrome.

"Pembuat ponsel harus setuju untuk menggunakan mesin pencari dan browser Chrome milik Google, yang mengumpulkan data pengguna untuk mesin iklan milik Google yang sangat akurat, yang menghasilkan pendapatan senilai miliaran," jelas Bray.

Jika banyak produsen smartphone yang memilih untuk meninggalkan aplikasi milik Google, maka Google tidak akan mendapatkan pendapatan sebanyak itu dari iklan dan akan berhenti memberikan Android secara gratis.

Jadi, jika produsen smartphone harus membayar untuk menggunakan Android maka diperkirakan harga smartphone Android akan menjadi semakin mahal.

"Jadi kita mungkin saja harus membayar harga iPhone untuk ponsel Android," ujar Bray. 

Google Ancam Android Tak Lagi Gratis

Google tidak terima didenda 4,34 miliar euro atau di kisaran Rp 72,8 triliun karena dianggap menyalahgunakan posisi dominan sistem operasi Android. Kasus ini bisa saja berimbas luas, bahkan disebutkan Android mungkin nanti tak lagi gratis.

CEO Google Sundar Pichai memperingatkan bahwa jika Google dilarang melakukan bundling aplikasinya sendiri di Android, maka ekosistemnya bisa terganggu. Dan model bisnis OS Android di mana produsen diperbolehkan menggunakannya secara gratis bisa tidak berlaku lagi.

"Sejauh ini, model bisnis Android membuat kami tidak perlu meminta biaya dari pembuat ponsel untuk teknologi kami atau bergantung pada model distribusi yang dikontrol secara ketat," sebut Sundar seperti dikutip detikINET dari blog resmi Google.

"Namun kami khawatir keputusan hari ini akan mengacaukannya dan mengirimkan pertanda buruk yang menguntungkan sistem proprietary dibandingkan platform terbuka," tambah Sundar.

Mungkin secara garis besar, jika produsen ponsel atau konsumen dibiarkan memilih sendiri browser selain Chrome dan menggunakan mesin cari yang lain di Android, penghasilan iklan Google akan menurun. Sehingga sebagai kompensasinya, penggunaan Android bisa saja nanti berbayar.

Diberitakan sebelumnya, denda besar dijatuhkan karena Google dianggap menyalagunakan posisi dominan sistem operasi Android. Peraturan Google melisensi Android yang mensyaratkan pembuat perangkat melakukan pre instal aplikasi Google seperti Chrome, YouTube, Gmail, Google Maps dan Play Store, melanggar hukum anti trust dan membuat produk kompetitor tak bisa bersaing dengan adil.

Deal semacam itu dengan produsen seperti Samsung, Huawei, HTC dan lainnya menurut Komisi Eropa adalah bukti Google menyalahgunakan posisi dominannya di industri smartphone.