Minggu, 15 Desember 2019

Ini Goa Cantik Kebanggaan Labuan Bajo

 Liburan ke Labuan Bajo ada satu destinasi yang seringkali dilewatkan oleh wisatawan. Inilah Goa Rangko yang jadi kebanggaan Labuan Bajo.

Labuan Bajo semakin dilirik wisatawan baik dari dalam maupun luar negeri. Tak hanya alamnya yang indah, budayanya juga menjadi daya tarik wisatawan. Pulau-pulau kecil yang cantik pun memikat hati siapa saja yang pernah mengunjunginya.

Satu lagi tempat unik dan menakjubkan ada di Labuan Bajo. Tempat tersebut bernama Goa Rangko. Tempat ini berlokasi di Tanjung Boleng, Boleng, Manggarai Barat.

Untuk menuju ke sana dapat menggunakan kendaraan pribadi atau ojek. Perjalanan kemudian disambung dengan menggunakan perahu motor dengan biaya yang sangat terjangkau. Jangan khawatir kita akan ditunggu oleh perahu yang mengantarkan di dermaga.

Untuk menuju goa, kita harus berjalan kaki dari dermaga. Trek yang seru untuk kegiatan petualangan, namun harus tetap berhati-hati karena terdapat bebatuan yang tajam.

Setibanya di mulut goa, kita masuk satu per satu dengan hati-hati karena pintunya tidak begitu lebar serta menuruni tangga kayu yang licin.

Keindahan alam yang tiada duanya ini semakin membuat kita penasaran untuk menikmati kesegaran kolam berwarna biru yang terdapat di dalam gua. Selain itu dipercantik dengan stalaktit yang menggantung di langit-langit gua.

Waktu terbaik untuk berkunjung ke tempat ini adalah pada pukul 14.00-15.00 WITA. Pada jam tersebut matahari masuk dari mulut gua yang menyinari langsung ke kolam.

Bukan Roma, Ini Colosseum dari Ambarawa

 Ambarawa bukan cuma punya Rawa Pening saja. Di sini juga ada benteng kolonial yang mirip-mirip dengan Colosseum Roma.

Ambarawa, kabupaten kecil berudara sejuk terletak 48 km dari kota Semarang merupakan saksi bisu penjajahan VOC Belanda di abad ke 18.

Salah satu bukti saksi bisu yang ada dan masih berdiri kokoh adalah Fort Willem 1 atau yang dikenal dengan Benteng Pendem Ambarawa.

Benteng ini dibangun pada tahun 1834 dan selesai di tahun 1845 di masa penjajahan kolonial Belanda di bawah kekuasaan Kolonel Hoorn. Bila dihitung bangunan benteng ini sudah berusia lebih dari satu abad.

Menariknya arsitektur bangunan Benteng Willem 1 mengingatkan para pengunjung akan bangunan Colloseum di Roma, Italia. Benteng yang berdiri kokoh mempunyai dua lantai dan dilengkapi dengan banyak jendela besar.

Memandangnya serasa kita sedang menikmati suasana Ambarawa rasa Roma. Bangunan ini sangat digemari oleh para pencinta fotografi karena sangat artistik di tiap bangunannya.

Dari informasi,awal pembangunan benteng ini bertujuan untuk barak militer serta untuk penyimpanan barang-barang barang logistik. Dalam perkembangannya benteng ini pernah dijadikan penjara bagi anak-anak anak dan juga penjara untuk tahanan politik serta orang dewasa pada tahun 1937.

Selain itu bangunan ini pernah digunakan sebagai tempat tinggal para militer NICA pada masa kekuasaan Jepang dan di pada masa kekuasaan Jepang dan di tahun 1945 Benteng Willem 1 beralih fungsi sebagai markas para pejuang Indonesia.

Oh iya, Benteng Willem 1 ini pernah dijadikan tempat syuting film Soekarno karya sutradara Hanung Bramantyo.

Penasaran dengan sejarah dan keindahan arsitektur bangunan ini? Segera bergegas dan jadikan tempat tujuan wisata selagi berada di Ambarawa.

Lokasinya tak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa dan dekat dengan RSUD Ambarawa. Selamat menikmati indahnya Ambarawa rasa Roma.

Ritual Penyucian Arwah Leluhur dari Suku Tengger (2)

Robert W. Hefner dalam bukunya, Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, mengatakan bahwa Suku Tengger merupakan keturunan langsung dari pengungsi Kerajaan Majapahit. Invasi kerajaan Islam yang dipimpin oleh Raden Patah pada abad ke-16, membuat sebagian masyarakat Majapahit menyelamatkan diri ke Pulau Bali, sementara sebagian lainnya mengungsi ke kawasan pegunungan di Jawa Timur.

Sedangkan asal usul nama Tengger menurut legenda setempat merupakan gabungan penggalan nama Roro Anteng dan Joko Seger, putri petinggi Majapahit dan putra seorang Brahmana yang juga ikut berpindah ke kawasan isolir Gunung Bromo. Berbeda dengan pemeluk Hindu di Pulau Bali, Suku Tengger memutuskan untuk tidak menerapkan sistem kasta.

Masyarakat adat Suku Tengger terilhami oleh alam sekitarnya. Terlihat dengan digunakannya Kulak atau bilah bambu untuk menampung benda-benda yang melambangkan kesejahteraan seperti beras dan uang.

Belum lagi ritual penyembelihan hewan ternak dan arak-arakan boneka Petra ke lokasi kremasi dengan total durasi pelaksanaan upacara: tiga hari tiga malam. Maka tak heran jika upacara adat Entas-entas sanggup menghabiskan biaya sekira harga satu unit kendaraan SUV terbaru.

Keesokan harinya, ritual penyembelihan hewan ternak dilaksanakan di ruang terbuka. Letaknya berbatasan langsung dengan areal perkebunan warga. Sekilas, ritus yang melibatkan darah dan pengorbanan ini kontradiktif dengan lanskap Tengger yang bersahaja.

Namun bagi warga setempat, tentu saja ritus ini memiliki makna yang sakral. Selain bertujuan agar kehidupan manusia terhindar dari malapetaka, Suku Tengger meyakini bahwa setiap laku ritual adalah pengejawantahan hubungan spiritual antara manusia, alam dan Sang Pencipta.

"Sitiderma itu dulunya juga manusia. Mereka menjalani hidup seperti kita. Makan, minum, berduka dan bergembira layaknya manusia lainnya. Jika belum diswargakan, mereka harus diberikan penghiburan," ujar salah seorang Dukun Adat.

Tibalah pada puncak ritus di hari ke-3 gelaran Entas-entas. Saat hari beranjak petang, alat musik tradisional mulai berkumandang. Mengiringi langkah para peziarah menuju punden tempat jenazah dikremasikan.

Boneka Petra yang ditempatkan di atas altar pun diarak bersamaan. Salah satu perbedaan yang cukup signifikan dengan upacara Ngaben di Pulau BaliĆ¢€”dalam Entas-entas, boneka Petra dihadirkan hanya sebagai simbol. Sementara jasad yang sesungguhnya tetap bersemayam di pemakaman.

Entas-entas adalah kesadaran spiritual pemeluk Hindu Dharma untuk menyempurnakan arwah pada unsur-unsur penyusun siklus hidup-mati manusia, diantaranya adalah tanah, kayu dan api. Tanah adalah makam tempat jasad dikebumikan, sementara kayu adalah nisan yang ditancapkan di atas kuburan, dan api adalah upacara kremasi.

Mengikuti serangkaian upacara Entas-entas, agaknya membuat imaji tentang ritus yang eksotis seketika tergenapi. Ritual yang sarat akan akulturasi tradisi Hindu dan keyakinan lokal Suku Tengger ini adalah satu bukti bahwa tradisi bukanlah mahakarya yang dipahat untuk kemudian keindahannya ditutup rapat-rapat.

Ia sejatinya tercipta untuk mengilhami para pelestari serta melengkapi ragam tabiat sinkretik yang dimiliki negeri ini. Begitulah agaknya, wujud harmoni Hindu Dharma dan keyakinan lokal di lereng Gunung Bromo.