Robert W. Hefner dalam bukunya, Hindu Javanese: Tengger Tradition and Islam, mengatakan bahwa Suku Tengger merupakan keturunan langsung dari pengungsi Kerajaan Majapahit. Invasi kerajaan Islam yang dipimpin oleh Raden Patah pada abad ke-16, membuat sebagian masyarakat Majapahit menyelamatkan diri ke Pulau Bali, sementara sebagian lainnya mengungsi ke kawasan pegunungan di Jawa Timur.
Sedangkan asal usul nama Tengger menurut legenda setempat merupakan gabungan penggalan nama Roro Anteng dan Joko Seger, putri petinggi Majapahit dan putra seorang Brahmana yang juga ikut berpindah ke kawasan isolir Gunung Bromo. Berbeda dengan pemeluk Hindu di Pulau Bali, Suku Tengger memutuskan untuk tidak menerapkan sistem kasta.
Masyarakat adat Suku Tengger terilhami oleh alam sekitarnya. Terlihat dengan digunakannya Kulak atau bilah bambu untuk menampung benda-benda yang melambangkan kesejahteraan seperti beras dan uang.
Belum lagi ritual penyembelihan hewan ternak dan arak-arakan boneka Petra ke lokasi kremasi dengan total durasi pelaksanaan upacara: tiga hari tiga malam. Maka tak heran jika upacara adat Entas-entas sanggup menghabiskan biaya sekira harga satu unit kendaraan SUV terbaru.
Keesokan harinya, ritual penyembelihan hewan ternak dilaksanakan di ruang terbuka. Letaknya berbatasan langsung dengan areal perkebunan warga. Sekilas, ritus yang melibatkan darah dan pengorbanan ini kontradiktif dengan lanskap Tengger yang bersahaja.
Namun bagi warga setempat, tentu saja ritus ini memiliki makna yang sakral. Selain bertujuan agar kehidupan manusia terhindar dari malapetaka, Suku Tengger meyakini bahwa setiap laku ritual adalah pengejawantahan hubungan spiritual antara manusia, alam dan Sang Pencipta.
"Sitiderma itu dulunya juga manusia. Mereka menjalani hidup seperti kita. Makan, minum, berduka dan bergembira layaknya manusia lainnya. Jika belum diswargakan, mereka harus diberikan penghiburan," ujar salah seorang Dukun Adat.
Tibalah pada puncak ritus di hari ke-3 gelaran Entas-entas. Saat hari beranjak petang, alat musik tradisional mulai berkumandang. Mengiringi langkah para peziarah menuju punden tempat jenazah dikremasikan.
Boneka Petra yang ditempatkan di atas altar pun diarak bersamaan. Salah satu perbedaan yang cukup signifikan dengan upacara Ngaben di Pulau BaliĆ¢€”dalam Entas-entas, boneka Petra dihadirkan hanya sebagai simbol. Sementara jasad yang sesungguhnya tetap bersemayam di pemakaman.
Entas-entas adalah kesadaran spiritual pemeluk Hindu Dharma untuk menyempurnakan arwah pada unsur-unsur penyusun siklus hidup-mati manusia, diantaranya adalah tanah, kayu dan api. Tanah adalah makam tempat jasad dikebumikan, sementara kayu adalah nisan yang ditancapkan di atas kuburan, dan api adalah upacara kremasi.
Mengikuti serangkaian upacara Entas-entas, agaknya membuat imaji tentang ritus yang eksotis seketika tergenapi. Ritual yang sarat akan akulturasi tradisi Hindu dan keyakinan lokal Suku Tengger ini adalah satu bukti bahwa tradisi bukanlah mahakarya yang dipahat untuk kemudian keindahannya ditutup rapat-rapat.
Ia sejatinya tercipta untuk mengilhami para pelestari serta melengkapi ragam tabiat sinkretik yang dimiliki negeri ini. Begitulah agaknya, wujud harmoni Hindu Dharma dan keyakinan lokal di lereng Gunung Bromo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar