Selasa, 18 Agustus 2020

Dua Ilmuwan Sebut COVID-19 Muncul Pertama Kali pada 2012

Virus Corona COVID-19 diketahui pertama muncul di Wuhan, China, pada Desember 2019 lalu. Tetapi, ahli virolog Jonathan Lathan dan ahli biologis molekuler Allison Wilson dari proyek Bioscience Resource Project menemukan hal yang berbeda.
Keduanya mengatakan bahwa berdasarkan penemuan mereka, pandemi COVID-19 ini pertama kali berasal dari sekelompok penambang di China pada tahun 2012 lalu. Hal itu diungkapkan Lathan dan Wilson setelah menerjemahkan tesis sebanyak 66 halaman dari doktor medis China, Li Xu, yang merawat pada penambang dan mengirim sampel jaringan tubuh mereka ke Institut Virologi Wuhan untuk diteliti.

"Bukti-bukti yang ada di dalam tesis membuat kami mempertimbangkan ulang seluruh hal yang kami pikir sudah diketahui, tentang asal usul pandemi COVID-19 ini," kata Latham dan Wilson melalui situs Independent Science News, yang dikutip dari New York Post, Senin (17/8/2020).

Bahkan, Latham yakin bahwa virus Corona yang menjadi pandemi saat ini 'hampir pasti lolos' dari laboratorium Wuhan.

Ini berawal pada April 2012 lalu, enam orang penambang di Tambang Mojiang, Barat Daya Tiongkok, di Provinsi Yunan sakit setelah lebih dari 14 hari membersihkan kotoran kelelawar. Tiga di antaranya meninggal dunia.

Dalam tesisnya, Li Xu yaitu dokter yang merawat para penambang itu menjelaskan bahwa para pasiennya mengalami demam tinggi, batuk kering, badan nyeri, serta beberapa di antaranya sakit kepala. Latham dan Wilson mengungkapkan bahwa hal-hal tersebut adalah gejala COVID-19 yang selama ini disosialisasikan di seluruh dunia.

Selama dirawat, para penambang menggunakan ventilator dan berbagai macam obat, seperti steroids, blood thinners, dan antibiotik. Obat-obat ini juga kini digunakan pada pasien COVID-19 yang ada saat ini.

Setelah para pasiennya itu dites dengan beberapa tes penyakit, seperti hepatitis, demam berdarah, hingga HIV, Li Xu akhirnya berkonsultasi ke berbagai dokter di Tiongkok. Termasuk virolog Zhong Nanshan yang menangani wabah SARS pada 2003 lalu.

"Pertemuan jarak jauh dengan Zhong Nanshan sangat signifikan. Ini membuktikan bahwa penyakit keenam penambang itu sangat memprihatinkan, dan bahwa virus Corona yang mirip SARS itu diduga sebagai penyebabnya," jelas mereka.

Selain itu, Li Xu juga mengirimkan contoh jaringan dari pada penambang ke laboratorium Wuhan, pusat penelitian virus Corona di Tiongkok. Menurut tesis L Xu, di sana para peneliti menemukan bahwa sumber infeksi ini adalah virus Corona yang mirip SARS, dari kelelawar rufous horseshoe.

Baik Latham maupun Wilson yakin bahwa virus tersebut berevolusi menjadi SARS-CoV-2 di dalam tubuh para penambang. Patogen virus itu sangat bisa beradaptasi pada manusia.

Klaim Temuan Obat COVID-19 Unair yang Panen Kritik

Universitas Airlangga (Unair) berhasil menyelesaikan tahapan uji klinis 3 kombinasi obat untuk mengatasi virus Corona. Diklaim bakal menjadi obat pertama di dunia untuk COVID-19.
"Tentu karena ini akan menjadi obat baru, maka diharapkan ini akan menjadi obat COVID-19 pertama di dunia," ujar Rektor Unair, Prof Nasih dalam rilis yang diterima detikcom dari Humas Unair.

Didukung Badan Intelijen Negara (BIN) dan TNI-AD, riset ini meneliti 3 kombinasi obat sebagai berikut:

Kombinasi pertama, Lopinavir/Ritonavir dan Azithromycin
Kombinasi kedua, Lopinavir/Ritonavir dan Doxycyclin
Kombinasi ketiga, Hydrochloroquine dan Azithromycin.

Klaim 'temuan' obat COVID-19 pertama di dunia tersebut mendapat sejumlah kritik. Salah satunya disampaikan praktisi kesehatan sekaligus akademisi Prof Dr dr Ari Fahrial Syam, SpPD. Menurutnya, sebuah riset obat tidak selesai hanya dengan uji klinis.

"Jadi kalau suatu uji klinis baru selesai, uji coba berikutnya tentu ketika coba disubmit ke kongres dunia dan selanjutnya dipublikasi di jurnal internasional," kata dr Ari.

Publikasi di jurnal internasional, menurut dr Ari diperlukan untuk mendapat pengakuan bahwa uji klinis tersebut memang valid dan bisa masuk guideline maupun protokol pengobatan baru. Lewat publikasi tersebut, akan dinilai juga apakah hasilnya konsisten dengan penelitian lain di berbagai negara.

Minimnya publikasi juga disorot praktisi biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, PhD. Menurutnya, efektivitas dan keamanan kombinasi obat tersebut sulit dinilai jika data yang tersedia tidak cukup detail.

"Kalau saya sebagai pihak otoritas saya nggak berani mengatakan sudah ditemukan karena datanya terlalu sederhana. Jadi lebih baik sekarang kita tunggu dari BPOM," kata Ahmad.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito ketika dihubungi hanya menjawab singkat. "Akan ada penjelasan dari Badan POM," kata Penny saat dihubungi detikcom, Minggu (16/8/2020).
https://indomovie28.net/with-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar