Sabtu, 22 Februari 2020

Kisah Sedih dari Lereng Gunung Lemongan

Mendaki Gunung Lemongan menyisakan kisah sedih soal pembalakan hutan yang terjadi di bagian lerengnya. Seperti apa kisahnya?

Gunung Lemongan, memang sudah cukup lama aku tahu nama dan keberadaannya namun tak pernah ada niat untuk berkunjung kesana. Hati ini seakan memilih gunung di sekitarnya yang lebih familiar, sebut saja Gunung Argopuro atau Gunung Semeru untuk didaki.

Hanya sering kali aku mendengar kabar jika gunung setinggi 1651 mdpl ini mempunyai trek yang sadis dan tak kalah dengan gunung setinggi 3.000 mdpl. Rasa penasaran yang akhirnya membawaku ke Gunung Lemongan, menapaki jalur terjalnya, hingga cerita cerita miris tentang sosial yang berada di kaki kaki Gunungnya.

Bulan januari sebenarnya bulan yang kurang begitu pas untuk melakukan pendakian gunung. Cuaca pada bulan ini cenderung ekstrim dan selalu hujan setiap hari. Hasrat untuk berpetualang pun rasanya memudar dengan jatuhnya rintik hujan sebuah ajakan dari kawan lama datang untuk mendaki gunung di sekitar Jawa timur membawa semangat mendakiku kembali memanas.

Dia selalu meyakinkan mendaki gunung pada musim hujan seperti ini relatif cukup aman jika dilakukan dengan cara 'Tek Tokan' atau mendaki naik turun dalam sehari tanpa camp.

Sebelum benar benar pergi kami sempat observasi dahulu mencari informasi tentang status jalur buka atau tutup dan kondisi cuaca disana. Dan kemudian meminta anggota basecamp untuk menjemput kami esok hari di Klakah Lumajang dan mengantar ke Basecamp Gunung Lemongan.

Laskar Hijau begitulah tulisan yang melekat pada rumah mas Ilal Hakim yang juga digunakan sebagai basecamp dan tempat perizinan pendakian. Sepi, tenang, dan nyaman sekilas terlihat dari basecamp ini.

Di depan kaca jendela penuh dengan tempelan tempelan stiker dari komunitas atau mapala yang sudah pernah berkunjung. Disamping basecamp pun tertempel dengan jelas peta jalur pendakian dan himbauan untuk para pendaki.

Cerita Miris Dari Lereng Gunung Lemongan

Tepat pukul 09.30 kami pun pamit kepada Mas Ilal untuk kembali melanjutkan perjalanan. Tak perlu berjalan kaki dahulu karena kami berdua akan diantar oleh Mas Putut dan Mas Mahmud menuju Pondok Laskar Hijau yang berjarak 2 km dari basecamp, lumayan untuk menghemat tenaga.

Di tengah perjalanan Mas Mahmud banyak bercerita mengenai pertentangan berdirinya Komunitas Laskar Hijau. Usut punya usut ternyata banyak pertentangan dari masyarakat sekitar dengan apa yang Komunitas Laskar Hijau lakukan. Gerakan ini bermula dari keprihatinan. Hutan-hutan di sini habis.

Itu berakibat pada turunnya debit air 13 ranu di sekitar Gunung Lamongan. Saat ini Laskar Hijau fokus dengan pemulihan kawasan hutan lindung di Gunung Lemongan. Melakukan reboisasi di kawasan hutan lindung gunung Lemongan yang seluas 2.000 hektar yang rusak akibat illegal logging yang terjadi pada kurun waktu 1998-2002.

Beberapa oknum masyarakat menuntut lahan lahan di lereng Lemongan agar bisa dimanfaatkan menjadi lahan perkebunan Pohon Sengon yang bernilai jual tinggi, dengan cara membuka lahan dengan membakar hutan lindung. Namun Laskar Hijau menolak segala cara pengalihan fungsi hutan yang sudah ada apalagi jika ditanami dengan sengon karena bisa menimbulkan sesuatu yang buruk kelak.

Karena pohon sengon walaupun memiliki harga ekonomis tinggi namun juga bisa membuat kerusakan lahan. Tumbuhan tumbuhan di sekitar sengon akan mati karena akar dari sengon sangat menyerap air, ditambah dengan akarnya yang kurang kuat mencengkram tanah dikhawatirkan kelak bencana longsor akan lebih mudah terjadi.

Laskar Hijau selama ini berupaya menjaga dan menanami kawasan hutan lindung ini dengan tanaman bambu dan buah-buahan agar ekosistem di Gunung Lemongan kembali hijau. Nah, aktivitas Laskar Hijau ini oleh para perambah hutan dan beberapa oknum tersebut dianggap sebagai hambatan bagi bisnis mereka, sehingga hampir setiap tahun tanaman Laskar Hijau dirusak dan dibakar.

Bahkan pernah sekali kejadian pada tahun lalu Posko Laskar Hijau dirusak oleh beberapa oknum masyarakat dan terjadi sebuah penganiayaan terhadap salah satu anggota Laskar Hijau.

Mendengar cerita yang disampaikan dari Mas Mahmud dan Mas Putut ini membuat hari terasa miris dan teriris. Sebuah gerakan untuk melindungi alam dengan tujuan mulia malah menjadi sebuah bahan pertentangan diantara masyarakat, Birokrasi pemerintah yang dengan sengaja untuk merusak alam, hingga beberapa oknum yang ingin menguntungkan dirinya sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar