Di pagi hari, waktu terasa berjalan sangat cepat. Saat menyiapkan berbagai keperluan untuk beraktivitas, semuanya serba terburu-buru seolah waktu berjam-jam terlewat hanya dalam sekejap.
Situasi ini bisa terjadi kapan saja, tidak selalu di pagi hari. Persepsi waktu selalu berubah, suatu ketika waktu terasa berjalan lebih cepat tetapi di lain waktu terasa sangat lambat. Misalnya saat mengikuti seminar yang membosankan.
Para ilmuwan menyebut, persepsi waktu dipengaruhi oleh area di otak yang disebut supramarginal gyrus (SMG). Kondisi sel-sel saraf di area inilah yang menentukan persepsi seseorang, apakah waktu berjalan lebih cepat atau lebih lambat.
Dalam sebuah penelitian, ilmuwan di Center for Information and Neural Networks at the National Institute of Information and Communications Technology mengungkapnya dengan memberikan 'ilusi waktu' pada 18 relawan sehat. Aktivitas otak di area tersebut diamati dengan fMRI (Functional Magnetic Resonance Imaging).
Para relawan menjalani periode adaptasi, yakni melihat lingkaran abu-abu dengan latar gelap selama 250 milidetik dan 750 milidetik. Masing-masing sebanyak 30 kali berturut-turut.
Sesudahnya, partisipan diperlihatkan lingkaran lain selama waktu tertentu sebagai stimulus tes sambil mendengarkan suara yang mereka sebut 'white noise'. Mereka diminta menilai, apakah simulasi yang diberikan lebih lama atau lebih singkat dari white noise.
Didapati, jika durasi stimulasi sama dengan durasi adaptasi maka aktivitas SMG menurun. Ini diartikan bahwa saraf-saraf di area tersebut 'kelelahan'.
Perubahan aktivitas pada sistem saraf tersebut dalam kehidupan nyata berpengaruh pada persepsi tentang waktu. Misalnya dalam mengenali tempo saat mendengarkan konser piano.
"Pendengar bisa merasa tempo musik Anda secara subjektif lebih lambat dari sebenarnya setelah terpapar musik dengan tempo yang lebih cepat, sekalipun ketika memainkannya dengan tempo yang tepat," jelas Masamichi Hayashi yang memimpin penelitian ini, dikutip dari Livescience.
https://kamumovie28.com/office-christmas-party-2/
Kalung Purifier Menteri Airlangga Bukan 'Jimat' Anti-Corona
Saat memimpin rapat koordinasi Komite PC-PEN di Bintan, Kepulauan Riau, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terlihat mengalungi kotak putih. Belakangan, diketahui alat tersebut adalah air purifier.
Teknologi pemurni udara sebenarnya bukan hal yang baru, di pasangarn sudah banyak perangkat yang dijual untuk fungsi tersebut. Begitu pula yang portabel, yang bisa dikenakan seperti kalung, juga mudah dibeli di mana saja.
Persoalannya, beberapa penjual mengklaim alat ini bisa menangkal virus Corona COVID-19. Dikhawatirkan klaim semacam ini akan memberikan rasa aman semu sehingga mengabaikan protokol pencegahan, yakni pakai masker dan jaga jarak.
"Kalau untuk menjernihkan udara yang terhirup ya itu bagus. Tapi soal apakah COVID-19 bisa masuk atau tidak di situ, kan perlu ada bukti lagi penelitian untuk itu," kata pakar kesehatan lingkungan Universitas Indonesia, Budi Haryanto, saat dihubungi detikcom, Senin (28/9/2020).
Pendapat senada juga disampaikan dokter paru dari RS Persahabatan, dr Erlang Samoedro, SpP. Jangankan untuk menangkal virus Corona, air purifier portable menurutnya bahkan tidak terlalu efektif menyaring polusi.
"Nggak ada hubungannya dan tidak mensterilkan udara juga karena udara kan berputar kalau kalung sekecil itu apa bisa mensterilkan udara yang terus berputar," tegas dr Erlang.
Untuk menangkal COVID-19, dr Erlang menegaskan bahwa cara paling ampuh untuk saat ini adalah menggunakan masker, rajin cuci tangan, dan saling menjaga jarak aman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar