Kesehatan reproduksi memang harus diajarkan sejak dini pada anak. Namun sex education tetap harus diberikan sesuai umur dan kemampuannya. Penjelasan yang baik, jujur, dan singkat lebih sesuai untuk anak kecil.
"Pengenalan reproduksi untuk anak SD bisa dimulai dengan membedakan laki-lali dan perempuan. Pengenalan melibatkan guru dan orangtua sehingga bisa tahu jika ada kondisi yang tidak baik. Naif sekali jika orangtua sampai tidak mengerti kondisi anak," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo.
Hasto menyebut pelibatan guru Pendidikan Jasmani dalam pengenalan reproduksi pada anak. Guru selanjutnya membing anak mengenal alat kelaminnya sendiri. Misal 2 testis pada pria, yang berbahaya jika hanya ada 1.
Guru yang mendapati kondisi testis anak yang tidak turun, bisa segera memberitahukannya pada orangtua. Testis yang tidak juga turun pada usia belasan berisiko mengakibatkan kanker. Pemeriksaan dan penanganan dini bisa menurunkam risiko kanker di masa mendatang.
Contoh lain yang diberikan Hasto adalah risiko penyakit gondongan pada anak. Penyakit Parotitis epidemica ini disebabkan virus, yang antigen dan antibodinya bisa merusak sel testis. Akibatnya terjadi gangguan produksi sperma ketika anak sudah dewasa.
Hasto mengatakan, kesehatan reproduksi sebetulnya wajib diketahui anak dan orangtua. Namun materi harus dikemas dengan baik supaya tidak punya image sexual intercourse seperti pada pendidikan seks. Materi dalam kesehatan reproduksi adalah menjaga kebersihan dan kesehatan alat kelamin serta siklus pada tiap kelamin. https://bit.ly/2rtCP8S
84 Persen Remaja Belum Dapat Pendidikan Seks, BKKBN Ingin Buatkan Modul
Sebuah riset tentang Kesehatan Reproduksi dan Seksual menunjukkan, 84 persen remaja usia 12-17 tahun di 5 kota besar se-Indonesia belum mendapat pendidikan seks. Edukasi yang seharusnya diberikan tanpa perlu menunggu puber, baru diberikan saat anak berumur 14-18 tahun.
"Dari kecil (diajarkan), sehingga orang tua dibiasakan open-minded. Nanti kalau sudah gede-gede nggak concern lagi. Biar nggak gelagapan (kalau ditanyai)" kata Ketua Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia Dr Dra Rita Damayanti, MSPH.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), dr Hasto Wardoyo, SpOG, menyatakan setuju dengan hasil riset tersebut. Pendidikan seks masih dipahami awam sebagai segala yang berkaitan dengan sexual intercourse, bukan kesehatan reproduksi yang harus diketahui anak sejak dini.
"Saya percaya survei itu, padahal apa salahnya tahu tentang kesehatan reproduksi. Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi punya public image yang berbeda. Karena itu saya ingin membuat modul soal kesehatan reproduksi yang tidak akan dipandang sebagai pendidikan seks," kata Hasto.
Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi punya public image yang berbeda. Karena itu saya ingin membuat modul soal kesehatan reproduksi yang tidak akan dipandang sebagai pendidikan seks
Hasto Wardoyo - Kepala BKKBN
Modul tersebut nantinya fokus pada upaya menjaga kesehatan organ reproduksi, penyakit yang mungkin timbul, dan siklus yang sifatnya khas misal menstruasi. Terkait menstruasi, perempuan wajib tahu perubahan mood diakibatkan fluktuasi kadar esterogen dan progesteron dalam tubuhnya.
Remaja juga wajib tahu penyebab tidak boleh menikah dini, yang terkait langsung dengn risiko kanker mulut rahim. Di usia belasan sel-sel dalam mulut rahim aktif membelah, sehingga tidak boleh terkena kontak benda asing dari luar tubuh misal alat kelamin laki-laki. Menikah dini meningkatkan risiko kanker saat perempuan berusian 30an.
Sayangnya, Hasto tidak menyebut target pembuatan modul yang akan disertai jargon tersebut. Belajar dari pengalamannya, modul dibuat dengan terlebih dulu berkonsultasi dengan pemuka agama dan dokter. Modul selanjutnya diajarkan di sekolah melalui guru Pendidikan Jasmani. https://bit.ly/2OqDBfA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar