Lahir di Parigi, kota kecil di Sulawesi Tengah, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, semula hidup Tjie Tjin Hoan tak kekurangan. Hingga ayahnya ditangkap tentara Jepang lantaran dicurigai sebagai mata-mata. Ayah Tjin Hoan meninggal di ruang tahanan. Saat itu usia Tjin Hoan baru 12 tahun. Kehilangan tulang punggung, ekonomi keluarga itu seketika morat-marit.
Tjin Hoan, yang sebelumnya tak kenal berkotor-kotor di kebun, terpaksa memeras keringat setiap hari mengolah tanah supaya dia sekeluarga bisa makan. Lewat para pendatang dari Sangihe Talaud, Tjin Hoan belajar berburu binatang di hutan. Hanya dalam waktu singkat, ditemani kawanan anjingnya, dia telah menjadi pemburu yang hebat. Segala onak dan duri tak lagi menyakiti kakinya.
Setiap akhir pekan, dari pagi hingga petang, dengan bertelanjang kaki, Tjin Hoan memburu binatang untuk lauk makan keluarganya. Pulang dari hutan, biasanya dia selalu membawa babi hutan. Sebagian dagingnya disantap, sebagian lagi diawetkan dengan diasapi.
"Daging asap itu awet disimpan selama seminggu sehingga kami bisa makan daging setiap hari," kata Tjin Hoan.
Kematian sang ayah mengubah Tjin Hoan dari seorang anak yang manja menjadi anak yang ulet dan pantang menyerah lantaran ditempa hidup yang keras. Tjin Hoan selalu ingat nasihat sang ayah, "Jika ingin sukses, lawannya bukanlah orang lain, tapi diri sendiri."
Demi berlatih mengalahkan diri sendiri itulah Tjin Hoan rajin berlari.
Semangat pantang menyerah itu pulalah yang mengantarkannya bisa berkuliah di Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung, dan kemudian menjadikannya pengusaha supertajir.
Punya duit banyak bukan modal nomor satu untuk jadi pengusaha kaya. Boleh percaya atau tidak, tapi itulah yang terjadi pada Tjie Tjin Hoan alias Ciputra.
Ciputra merintis usahanya sejak masih jadi mahasiswa di ITB. Bersama dua sahabatnya sesama mahasiswa ITB, Budi Brasali dan Ismail Sofyan, hanya bermodal ilmu arsitektur yang didapat di kampus, mereka mendirikan CV Daya Tjipta.
Awalnya, seperti kisah Larry Page dan Sergei Brin memulai Google, mereka berkantor di sebuah garasi di Jalan Soetjipto, Bandung. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah di Bandung mencari orang yang bersedia memakai jasanya. https://bit.ly/35DJA6F
Hingga akhirnya Ciputra menikah, punya anak dan menyandang gelar insinyur dari ITB. "Apakah kita akan terus begini dan menunggu order datang?" Ciputra bertanya kepada Budi dan Ismail.
Bagi Ciputra kala itu, hanya mengerjakan proyek-proyek kecil dan bertahan hidup saja tak membuatnya puas.
"Saya harus membuat lompatan besar."
Maka dia memboyong keluarganya meninggalkan Bandung dan pergi ke Jakarta. Pada awal 1960-an, Jakarta sedang berbenah. Tak ada cara lain supaya bisa dapat proyek besar kecuali bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta, saat itu dijabat Soemarno Sosroatmodjo.
Lewat perantaraan seorang kerabat, Ciputra berkenalan dengan Mayor Charles, mantan asisten Gubernur Soemarno. Ciputra minta bantuan Charles untuk mempertemukannya dengan Gubernur Soemarno.
"Saya hanya ingin menyampaikan pemikiran saya untuk membangun Jakarta," kata Ciputra. Entah apa yang dipikirkan Gubernur Soemarno, dia mau menemui dan mendengarkan paparan gagasan Ciputra yang baru lulus kuliah.
"Apa yang kau katakan benar adanya,"
Gubernur Soemarno mengomentari konsep Ciputra. "Tapi pemerintah tak punya dana." Dia menunjuk satu wilayah Jakarta, kawasan Senen, yang perlu segera ditata.
"Jika kau sudah melihat ke sana, kita bertemu lagi untuk bicara."
Dengan mengendarai sepeda motor, datanglah Ciputra ke kawasan Senen, Jakarta Pusat. Yang dia lihat saat itu adalah satu kesemrawutan yang sempurna. Kios-kios dan lapak pedagang berimpitan sangat rapat, berebut tempat dengan rumah-rumah petak warga. Sampah bertebaran dan menggunung di mana-mana, seolah sudah jadi suatu hal yang wajar.
Berhari-hari, Ciputra bolak-balik menyusuri setiap pojok kawasan Senen sembari terus memutar otak, bagaimana caranya membereskan kesemrawutan itu. Dia balik ke Bandung menemui dua sahabatnya, Budi dan Ismail.
"Kita harus membuat maket yang sempurna," kata Ciputra. Mereka tancap gas menggarap proyek itu siang-malam.
"Saya setuju. Sempurna…. Pertokoan dan permukiman memang tak boleh disatukan," kata Gubernur Soemarno setelah menyimak presentasi Ciputra. "Kita bersama-sama akan menghadap Presiden."
Beberapa hari kemudian, Gubernur Soemarno dan tim Ciputra diterima Presiden Sukarno untuk mempresentasikan konsep peremajaan kawasan Senen. Ciputra, yang masih anak bawang, mesti mengumpulkan keberanian dan kepercayaan diri.
Meski yang dihadapi hanyalah arsitek yang masih sangat muda, Presiden Sukarno menyimak pemaparan Ciputra dengan serius.
"Bagus sekali," kata Presiden Sukarno. Restu dari Presiden turun sudah, tapi ada satu masalah besar: dari mana duitnya? https://bit.ly/37GuteA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar