Kasus yang menimpa artis Gisella Anastasia ramai diperbincangkan. Terlebih ketika ia mengakui keterlibatan atas skandal yang menimpanya.
Kebiasaan merekam aktivitas bercinta oleh sebagian besar orang tak lazim dilakukan, namun psikolog berujar hal ini bukan tanda seseorang mengalami kelainan.
"Orang yang membuat video diri selama berhubungan intim tidak selalu terkait dengan gangguan psikologis tertentu," kata psikolog klinis Kasandra Putranto dari Kasandra & Associate.
Merekam dan menyimpan video seks pribadi bisa jadi terkait dengan imaji dan hasrat seksual seseorang. Untuk keperluan pribadi dan selama atas persetujuan pasangan, menurutnya hal itu sah-sah saja dilakukan.
"Kita tidak bisa serta merta meyakini bahwa perilaku membuat dan menyimpan video saat beraktivitas hubungan intim adalah merupakan gangguan psikologis karena pada dasarnya membuat video diri secara erotis ataupun saat berhubungan intim itu juga bisa terkait dengan imajinasi dan hasrat seksual seseorang," lanjutnya.
Senada, pengamat seks dr Boyke Dian Nugraha, SpOG mengatakan aktivitas merekam hubungan seks atas persetujuan masing-masing pihak tidak menjadi masalah dan tak ada kaitannya dengan kelainan seksual.
Beda halnya jika mereka memang ini mempertontonkan video mereka ke khalayak umum.
"(Termasuk) paraphilia adalah suatu penyimpangan seksual kalau dia senang mempertontonkan diri berhubungan seks, lalu disebarkan, kalau dianya tahu," ujar dr Boyke.
https://kesehatanews.blogspot.com/feeds/posts/default?max-results=400/
Cara Kerja GeNose, Pendeteksi COVID-19 Murah Buatan Peneliti UGM
Para peneliti di Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan alat yang bisa mendeteksi COVID-19 melalui hembusan napas. Alat bernama GeNose ini disebut bisa membantu proses screening karena diklaim akurat dan cukup murah hanya sekitar Rp 15-25 ribu per tes.
Ketua tim pengembang GeNose, Profesor Kuwat Triyana, menjelaskan lebih detail bagaimana cara GeNose bekerja. Ia menjelaskan alat tidak langsung mengidentifikasi kehadiran virus, melainkan lewat partikel senyawa tertentu yang dihembuskan oleh seseorang saat bernapas.
Prof Kuwat menyebut misalnya orang yang terinfeksi COVID-19 memiliki karakteristik menghembuskan lebih banyak senyawa ethyl butanoate dibandingkan orang sehat.
"Jadi pembedanya bukan munculnya senyawa baru tapi senyawa yang sudah ada itu lebih tinggi atau rendah," kata Prof Kuwat dalam konferensi yang disiarkan IA ITB Yogyakarta, Rabu (30/12/2020).
"Yang dideteksi adalah pattern atau pola senyawa kompleks yang keluar dari napas kita," lanjutnya.
Genose nantinya diharapkan bisa dipasang di tempat yang rawan keramaian seperti terminal. Orang-orang yang ingin bepergian bisa menghembuskan napasnya dalam kantong plastik khusus untuk kemudian diperiksa dengan GeNose sebagai langkah screening.
Catat! Daftar Penyakit Komorbid yang Layak dan Belum Layak Terima Vaksin COVID-19
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) memberikan rekomendasi terkait pemberian vaksin COVID-19 pada orang yang memiliki penyakit penyerta.
Dalam rekomendasi tersebut, orang yang memiliki riwayat alergi hingga penyakit paru termasuk dalam kelompok yang boleh menerima vaksin. Sedangkan beberapa yang belum boleh menerima adalah mereka yang memiliki riwayat autoimun hingga pasien kanker.
"Rekomendasi disusun spesifik untuk Sinovac, sehingga dapat berubah sesuai dengan perkembangan laporan data uji klinis Sinovac tersebut. Demikian pula dengan vaksin COVID-19 jenis lain," tulis pernyataan resmi dari PB PAPDI sesuai dengan keterangan yang diterima detikcom, Rabu (30/12/2020).
Vaksin COVID-19 diberikan dengan kriteria pada orang dewasa sehat usia 18-59 tahun, menandatangani surat persetujuan (informed consent), menyetujui mengikuti aturan dan jadwal imunisasi.
Penyakit penyerta yang layak vaksinasi:
1. Reaksi anafilaksis yang bukan akibat vaksinasi COVID-19
2. Riwayat alergi obat
3. Riwayat aleri makanan
4. Asma bronkial
Catatan: jika pasien dalam keadaan asma akut disarankan untuk menunda vaksinasi sampai asma pasien terkontrol baik
5. Rhnitis alergi
6. Urtikaria
Jika tidak terdapat bukti timbulnya urtikaria akibat vaksinasi COVID-19, maka vaksin layak diberikan. Jika terdapat bukti urtikaria, maka menjadi keputusan dokter klinis untuk pemberian vaksin Covid-19. Pemberian antihistamin dianjurkan sebelum dilakukan vaksinasi.
7. Dermatitis atopi
8. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Pasien dalam kondisi PPOK eksaserbasi akut disarankan menunda vaksinasi sampai kondisi eksaserbasi teratasi
9. Tuberkulosis
Pasien TBC dalam pengobatan layak mendapat vaksin Covid-19 minimal setelah dua minggu mendapat obat anti-tuberkulosis.
https://artikeinspiratif.blogspot.com/feeds/posts/default?max-results=400
Tidak ada komentar:
Posting Komentar