Pulau Kalong di Labuan Bajo memiliki fenomena unik, yaitu ribuan kalong yang terbang membentuk jalurnya sendiri saat senja tiba. Asyik buat dipotret!
Kawasan Taman Nasional Komodo tidak hanya menyajikan si naga purba Komodo saja yang legendaris itu, tapi juga ada atraksi menarik dari hewan lain yaitu para kalong yang terbang dari tempat persembunyiannya.
Kalong adalah mamalia yang dapat terbang dan berasal dari ordo Chiroptera, sejenis kelelawar. Perbedaan mendasar antara kalong dan kelelawar adalah bentuk fisiknya.
Kalong memiliki ukuran yang lebih besar, sedangkan kelelawar atau yang biasa disebut kampret memiliki ukuran lebih kecil. Secara makanan pun juga berbeda, kalong merupakan herbivora yang memakan buah-buahan dan juga nektar atau sari bunga, sedangkan kelelawar atau kampret memakan serangga.
Untuk menuju Pulau Kalong dibutuhkan waktu sekitar 1 jam dari Labuan Bajo melalui perjalanan laut dengan jarak sekitar 8 km. Pulau ini merupakan kawasan hutan bakau, sehingga sangat sulit untuk mendarat menjelajahi ke dalamnya, karena terdapat banyak ular.
Saat sore hari biasanya kapal wisatawan banyak yang mendekat ke pulau ini untuk menunggu momen itu tiba. Menjelang matahari terbenam barulah ribuan kalong yang menghuni pulau terbang beriringan dan membentuk jalur yang menakjubkan. Mereka merupakan hewan nocturnal yang aktif di malam hari keluar mencari makan di pepohonan yang memiliki buah di sekitar Pulau Flores dan kembali lagi menjelang subuh.
Satu jam berlalu, kalong yang terbang dan pindah keluar pulau tidak kunjung habis, justru semakin banyak. Hal ini dimanfaatkan para wisatawan untuk mengabadikannya, karena momennya pas dengan matahari terbenam.
Menpar dan Cendekiawan Karo Bahas Pengembangan KSPN Danau Toba
Potensi pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba mendapat perhatian Menteri Pariwisata Arief Yahya. Dalam pertemuan di Gedung Sapta Pesona Kementerian Pariwisata, Arief membahas hal tersebut bersama Arya Mahendra Sinulingga dan perwakilan Ikatan Cendekiawan Karo Sumatera Utara.
Dalam pertemuan yang digelar Selasa (21/5), Arya Sinulingga yang merupakan warga asli Karo menyampaikan beberapa isu strategis. Di antaranya mengenai belum adanya akses tol ke kawasan utara Danau Toba, tepatnya Karo-Dairi dan Pakpak Barat, Samosir.
"Saat ini, akses dilayani oleh Jalan Medan Brastagi, namun sering longsor. Akibatnya, kendaraan terguling dan menyebabkan macet hingga 6 jam atau lebih. Hal ini dapat menyebabkan kerugian hingga Rp 3-4 miliar per hari," papar Arya dalam keterangan tertulis, Rabu (22/5/2019).
Menurutnya, hal ini akan berdampak pada terjadinya perpindahan minat turis. Turis yang awalnya ada dari kawasan utara Danau Toba, dikhawatirkan berpindah ke selatan.
"Selain itu, kondisi lingkungan di Parapat juga kurang dari aspek lingkungan akibat over-crowded. Dan kondisi ini bisa membuat komoditas dan pariwisata di kawasan utara Danau Toba akan kurang memiliki daya saing yang mengakibatkan disparitas pembangunan," terangnya.
Namun, Arya tidak datang dengan tangan kosong. Ia dan para cendekiawan Karo Sumut menyampaikan beberapa usulan program strategis. Ia pun berharap Menpar Arief Yahya turut memperjuangkannya ke kementerian terkait.
Usulan yang disampaikan adalah peningkatan Jalan Medan-Brastagi dan pembangunan jalan alternatif, khususnya jalan alternatif Rawasaring, dan Jalan Tol Simpang Amplas-Tiga Panah.
"Kita berharap dua solusi melalui perbaikan aksesibilitas tersebut mampu menjaga keseimbangan kawasan Danau Toba. Apalagi, Karo menjadi wilayah interkoneksi ke 10 kabupaten di sekeliling Danau Toba dan 2 provinsi, yaitu Sumut dan Aceh," paparnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar