Corona tak kunjung mereda, penambahan kasus Corona menyentuh angka 13 ribu. Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra Hermawan menilai situasi COVID-19 usai 15 bulan berjalan tak kunjung terkendali di tengah penanganan Corona yang tak efektif.
"Rem, gas, rem, gas, rem dan gas itu adalah kebijakan yang terkatung-katung yang hanya membuat kita menunda bom waktu saja karena tidak mampu memutus mata rantai COV"ID-19," tegas Hermawan dalam diskusi bersama CISDI, Minggu (20/6/2021).
Ia menyoroti PPKM yang kini diterapkan hanya untuk melandaikan pandemi Corona, tidak untuk memutus penularan COVID-19 di masyarakat. Pemerintah, disebutnya kurang tegas dalam memprioritaskan salah satu aspek di antara ekonomi dan kesehatan.
Tak hanya soal kebijakan, vaksinasi Corona disebut Hermawan bukan menjadi solusi utama pandemi Corona lantas berakhir. Pasalnya, cakupan vaksinasi saja belum bisa mencapai 1 juta per harinya, jika hanya mengandalkan vaksinasi COVID-19 akan memakan waktu lama untuk menuntaskan pandemi saat kasus Corona juga terus melonjak.
Belajar dari setiap negara dengan lonjakan kasus COVID-19, strategi yang kemudian berhasil menurunkan hingga memutus penularan COVID-19 ialah lockdown. IAKMI mengusulkan pemerintah berani menerapkan lockdown regional.
"Pemerintah harus berani radikal opsinya cuma dua, PSBB nasional pada bentuk semula atau pun lockdown regional, terbatas pada pulau besar seperti pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dilakukan secara berkala," katanya.
"Usul yang paling radikal tentu lockdown regional ya, artinya ini bentuk paling logis," tuturnya.
Indonesia masih gelombang pertama
Hermawan menegaskan kasus COVID-19 di Indonesia masih di gelombang pertama. Wabah Corona di RI dinilainya tak kunjung mencapai puncak lantaran angka positivity rate tak pernah berada di bawah 10 persen.
Sementara indikator untuk menentukan gelombang baru COVID-19 adalah positivity rate sudah lebih dulu di bawah standar WHO yaitu 5 persen. Artinya, penularan Corona di Indonesia masih terus tinggi.
Bahkan, kondisi under reporting kasus COVID-19 ditegaskan Hermawan sulit menggambarkan situasi Corona yang sebenarnya terjadi kini.
"Sesungguhnya kita masih di gelombang pertama karena indikator positivity rate kita masih di atas 10 persen, mortality rate kita masih di atas 5 persen dan juga insiden rate angka kejadian harian kita masih ribuan bahkan puluhan ribu di atas 10 ribu," kata dia.
"Semua indikator menunjukkan kita masih di gelombang pertama, masih jauh dari kata terkendali,"pungkasnya.
https://movieon28.com/movies/nausicaa-of-the-valley-of-the-wind/
Abai Prokes Berbuah Ledakan Corona, Pakar Sebut RI Sudah 'Herd Stupidity'
Corona terus melonjak, pakar epidemiologi Pandu Riono dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) menilai Indonesia sudah mencapai herd stupidity. Baik dari pemerintah, dan masyarakat disebut Pandu sama-sama abai terhadap pandemi COVID-19.
Seperti diketahui, ada lebih dari 100 kasus varian baru Corona termasuk varian Delta yang diyakini menular lebih cepat hingga memperburuk gejala COVID-19. Kemunculan varian baru Corona di saat protokol kesehatan memakai masker, seperti halnya di DKI Jakarta, menurun menjadi 25 persen.
"Herd kan komunal, kebodohan bersama. Itu artinya kebodohan bersama, makanya Indonesia herd stupidity. Sudah tahu mudik dilarang, masih pergi. Sudah diingatkan kemungkinan varian baru, nggak peduli. Sudah tahu mudik bisa meningkatkan kasus, tidak dilarang dengan ketat. Ya baik pemerintah maupun masyarakat sama-sama abai," jelasnya kepada detikcom Senin, (21/6/2021).
Pandu menilai, alih-alih menerapkan tarik rem darurat di tengah situasi COVID-19 dengan lonjakan kasus, lebih baik mengutamakan tingkat vaksinasi Corona yang cakupannya masih rendah.
"Sekarang tiba-tiba saat sudah melonjak kasusnya, ramai desakan lockdown, ramai desakan tarik rem darurat, konteksnya apa? Apa yang ditarik apa yang direm?" tanya Pandu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar