Jumat, 04 Juni 2021

Anak di Bawah Umur Main Sinetron Poligami, Menteri PPPA Angkat Bicara

 - Baru-baru ini sinetron berjudul "Suara Hati Istri: Zahra" menuai kontroversi dan ramai diperbincangkan di media sosial lantaran dianggap tidak mengedukasi dan telah melanggar hak anak.

Netizen pun ramai melakukan protes dan meminta tayangan tersebut kembali dikaji ulang atau dihentikan. Menanggapi hal tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mengatakan bahwa sinetron tersebut merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak anak.


Pasalnya, pemeran tokoh Zahra yang menjadi istri dan dipoligami dalam sinetron tersebut merupakan seorang anak berusia 15 tahun. Dikutip dari laman resmi Kementerian PPPA, materi atau konten dalam sebuah acara yang ditayangkan seharusnya sudah sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS).


Tak hanya itu, tayangan juga seharusnya mendukung pemerintah dalam upaya pemenuhan kebutuhan hak anak dan demi kepentingan terbaik anak. Diketahui, saat ini pemerintah sedang berjuang dan berusaha keras untuk terus mencegah pernikahan anak.


Oleh sebab itu, seluruh media harus tetap berprinsip pada pedoman tersebut dalam menghasilkan produk yang melibatkan anak.


"Konten apapun yang ditayangkan oleh media penyiaran jangan hanya dilihat dari sisi hiburan semata, tapi juga harus memberi informasi, mendidik, dan bermanfaat bagi masyarakat, terlebih bagi anak. Setiap tayangan harus ramah anak dan melindungi anak," tegas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga, dikutip dari HaiBunda Jumat (4/6/2021).


Bintang juga mengungkapkan bahwa setiap tayangan yang disiarkan oleh media, seperti televisi, harus mendukung program pemerintah. Beberapa di antaranya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat terkait pencegahan perkawinan anak, Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), pencegahan kekerasan seksual, dan edukasi pengasuhan orang tua yang benar

Lebih lanjut, orang tua pun turut dituntut untuk dapat berperan langsung dalam upaya tersebut, yakni dengan bijaksana dalam memilih peran yang tepat dan selektif menyetujui peran yang akan dimainkan oleh anaknya.


Hingga saat ini, Bintang mengatakan bahwa pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurutnya, ia mengapresiasi KPI yang bisa mengambil langkah cepat dalam penanganan masalah tersebut.


Lalu, apa saja aspek yang dilanggar oleh pihak produksi sinetron dan apa saja hak anak dalam keluarga?


KLIK DI SINI UNTUK KE HALAMAN SELANJUTNYA

https://tendabiru21.net/movies/bad-boys/


Saran Pakar FKUI Jika Tetap 'Maksa' Sekolah Tatap Muka Mulai Juli


Kegiatan sekolah tatap muka di Indonesia direncanakan mulai pada Juli 2021. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim telah menegaskan tak ada tawar menawar lagi terkait hal ini.

"Tidak ada tawar-menawar untuk pendidikan, terlepas dari situasi yang kita hadapi," kata Nadiem dalam acara yang disiarkan YouTube Kemendikbud RI, Rabu (2/6/2021).


Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) dari Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Prof dr Menaldi Rasmin, SpP(K), mengatakan perlu ada perencanaan yang matang sebelum dibukanya sekolah tatap muka.


Misalnya, dengan melakukan pemetaan terkait daerah-daerah yang memiliki tingkat penyebaran COVID-19 yang tinggi. Terlebih saat ini sejumlah wilayah telah melaporkan adanya varian baru Corona.


"Saat ini kita sebetulnya masih belum tahu berapa besar kejadian mutasi varian baru. Jadi menurut saya, ini adalah suatu hal yang patut dipertimbangkan ketika kita menginginkan sekolah tatap muka," kata Prof Menaldi dalam webinar FKUI, Jumat (4/6/2021).


Selain itu, kata Prof Menaldi, anak-anak dan remaja cenderung belum bisa diatur dengan benar terkait penerapan protokol kesehatan. Oleh karenanya, perlu ada bimbingan dan pemantauan yang tepat agar mereka dapat belajar di sekolah dengan kondusif dan tetap mematuhi protokol kesehatan.


"Kalau yang tatap muka itu adalah perkantoran, saya kira masih bisa karena orang dewasa masih bisa diatur. Tapi kalau tingkat anak-anak dan remaja itu biasanya main menjadi bagian ke sekolah," ujarnya.


"Jadi kalau memang mau melakukan itu harus dengan peraturan yang ketat, terutama pada anak-anak yang tingkatnya PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), TK, SD, SMP, SMA, sampai pendidikan tinggi," jelasnya.


Meski begitu, Prof Menaldi pun mengaku sekolah tatap muka tetap perlu dilakukan. Terutama pada pembelajaran yang mengutamakan praktik, seperti sekolah kedokteran.


"Sebaliknya pada pendidikan tinggi juga ada yang tidak mungkin terus-terusan tidak tatap muka, di kedokteran misalnya. Jadi memang ada juga pendidikan yang suka tidak suka sudah harus memulai pendidikan tatap muka, walaupun dengan prokes yang sangat ketat," ungkap Prof Menaldi.

https://tendabiru21.net/movies/pom-pom/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar