Rabu, 19 Mei 2021

Benarkah Efek Samping Vaksin AstraZeneca Lebih Kuat dari Sinovac?

 Dari beberapa jenis vaksin COVID-19 yang digunakan di Indonesia, vaksin AstraZeneca dan Sinovac jadi dua jenis vaksin yang banyak dipakai karena ketersediaan dosisnya. Indonesia dilaporkan sudah mengamankan sekitar 6 juta dosis vaksin AstraZeneca dan 68 juta dosis vaksin Sinovac.

Terkait hal tersebut, di tengah masyarakat beredar anggapan bahwa efek samping vaksin AstraZeneca cenderung lebih keras dari vaksin Sinovac. Bermula dari cerita pengalaman orang-orang yang mengaku sudah menjalani vaksinasi COVID-19.


Pakar biologi molekuler sekaligus vaksinolog Ines Atmosukarto menjelaskan sebetulnya efek samping usai menjalani vaksinasi bisa beragam bagi tiap orang. Ada yang bisa tidak merasakan apa-apa, tapi ada juga yang mengalami demam hingga nyeri ngilu apapun jenis vaksinnya.


"Jadi statement-nya enggak bisa besar luas. Karena kembali lagi pada sistem imun setiap orang," ungkap Ines dalam diskusinya bersama ahli biologi molekuler lain, Ahmad Rusdan Utomo, di kanal Youtube Pak Ahmad dan dikutip Rabu (19/5/2021).


Namun Ines mengaku memang mendengar kabar terkait efek samping vaksin AstraZeneca lebih 'kuat'. Satu teori yang mungkin menjelaskan karena ada perbedaan platform atau teknologi pengembangan yang berbeda antara vaksin COVID-19 AstraZeneca dengan Sinovac.


"Besar kemungkinan karena sebenarnya vaksin itu terdiri dari virus yang masih hidup tetapi dilemahkan. Jadi apa namanya itu reaksinya jauh lebih kompleks," ungkap Ines.


"Reaksi tubuh kita. Tanda bahwa imun bekerja mengenali adenovirus pembawa ini sebagai sesuatu yang asing kemudian timbul respons imun," lanjutnya.


Vaksin AstraZeneca diketahui dikembangkan dengan platform adenovirus. Peneliti memodifikasi virus tak berbahaya dari simpanse untuk membawa materi virus SARS-CoV-2 dan memicu respons imun.


Sementara vaksin Sinovac dikembangkan dengan platform inactivated. Virus SARS-CoV-2 utuh yang telah dimatikan dipakai di dalam vaksin untuk memicu respons imun.

https://trimay98.com/movies/beyond-a-reasonable-doubt/


India Krisis Obat 'Jamur Hitam', Penyakit Pemicu Kebutaan Pasien COVID-19


Kasus infeksi jamur hitam atau mucormycosis meningkat di antara pasien COVID-19 di India. Penyakit ini sebetulnya langka, namun kondisi pandemi yang unik membuat jamur jadi bisa lebih mudah menyerang para pasien menimbulkan kebutaan bahkan kematian.

Terkait hal tersebut, India kini dilaporkan mulai kehabisan obat mucormycosis. Salah satu perusahaan farmasi besar di India mengaku pada BBC sulit mendapatkan obat amphotericin-B karena permintaan yang meroket sejak tiga minggu lalu.


Di media sosial tampak sebagian netizen di India mencari informasi ketersediaan obat amphotericin-B untuk mengatasi mucormycosis. Sebagian lagi bergantung pada pasar gelap untuk mendapatkan obat.


"Sangat dibutuhkan segera. Tolong teman saya yang sedang dirawat di RS Max Super Speciality di Delhi. Butuh suntikan amphotericin-B," tulis salah satu pengguna Twitter.


Mucormycosis sendiri disebabkan oleh jamur mucor yang umum ditemukan di tanah, tanaman, atau buah-buahan yang sudah membusuk. Pada orang sehat jamur mucor jarang menimbulkan komplikasi, namun bagi mereka dengan imun lemah dapat menyebabkan infeksi yang menyerang sinus, otak, dan paru-paru.


Sebagian ahli meyakini kasus mucormycosis kini banyak bermunculan karena imunitas pasien COVID-19 yang lemah. Terlebih obat steroid yang umum digunakan untuk meringankan gejala COVID-19 juga bekerja dengan menekan sistem imun.


Dokter mengaku terpaksa harus mengangkat mata pasien untuk mencegah infeksi merambat sampai ke otak.

https://trimay98.com/movies/king-cobra-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar