Awal tahun 2019, setidaknya 11 pendaki tewas saat mendaki Puncak Everest di Nepal. Oleh sebab itu, pendakian ke sana kini diperketat!
Dilansir dari BBC, Kamis (15/8/2019) Pemerintah Nepal bakal memperketat pendakian ke Puncak Everest. Beberapa persyaratan pendakian pun tak main-main.
Beberapa di antaranya seperti pendaki yang mau naik Puncak Everest sudah pernah mendaki gunung dengan ketinggian 6.000 mdpl, memberikan sertifikat kebugaran fisik dan menggunakan jasa pemandu yang berpengalaman.
Diketahui, sudah 11 pendaki tewas saat mendaki Puncak Everest di awal tahun 2019. Di antaranya, 4 pendaki tewas saat mengantre untuk menuju puncaknya.
Seperti kita ketahui, Puncak Everest yang masuk dalam rangkaian Pegunungan Himalaya merupakan titik tertinggi di Bumi. Ketinggiannya mencapai 8.848 mdpl dan merupakan mimpi para pendaki dunia untuk berdiri di sana.
Pemerintah Nepal pun merencanakan, akan memberlakukan tarif masuk dengan harga tinggi bagi pendaki yang mau ke Puncak Everest. Dulunya seharga 11 ribu USD atau sekitar Rp 159 juta, menjadi 35 ribu USD atau setara Rp 499 juta.
Puncak-puncak lain di Nepal dengan ketinggian 8.000 mdpl, juga diberikan tarif masuk yang mahal. Seharga 20 ribu USD atau sekitar Rp 285 juta.
"Kami akan mengubah undang-undang dan peraturan. Kami akan membuat gunung kami aman, dikelola dan bermartabat," kata Menteri Pariwisata Nepal, Yogesh Bhattari.
Keputusan tersebut diambil setelah melalui rangkaian diskusi panjang. Pemerintah Nepal juga meminta masukan dari berbagai asosiasi pendakian gunung dunia.
Menemukan Bali di China
Keindahan Bali memang memukau berbagai mata dunia. Bahkan, ada Desa Bali di Negeri Tirai Bambu. Seperti apa ya?
Jika berkunjung ke Pulau Hainan, selain menikmati suasana tropis ala Hawaii-nya China, di sana ternyata juga ada jejak nusantara. Namanya diambil dari pulau tropis populer di Indonesia, yakni Bali.
Memang, Hainan banyak berkiblat untuk membangkitkan pariwisata dari Hawaii dan Bali. Namun, nama Bali sebenarnya memiliki jejak sejarah yang melekat pada masa lalu. Jadi, dulunya wilayah ini merupakan tempat bermukim warga Asia Tenggara khususnya Indonesia keturunan Tionghoa sekitar tahun 1960.
Begitu pun dengan warga China yang berdagang ke wilayah Indonesia. Karena PP 10 tahun 1959 tentang larangan bagi usaha perdagangan kecil dan eceran yang bersifat asing di luar ibu kota daerah Swatantra tingkat I dan II serta karesidenan, yang mengharuskan pedagang keturunan Tionghoa di sejumlah wilayah Indonesia kembali ke negaranya. Mereka pun harus mengalihkan dagangannya kepada warga asli Indonesia.
Mereka pun kembali ke China dan sejumlah wilayah lain. Salah satunya, adalah wilayah Hainan tepatnya di lokasi ini. Maka, mereka bermukim di wilayah ini dan memberi nama Desa Bali.
Saat ini, wilayah tersebut menjadi pusat budaya yang juga menampilkan berbagai atraksi wisata. Suasananya memang mirip seperti di Indonesia. Berbagai aksara dan bahasa Indonesia mudah saja ditemui di sana.
Meski tidak semuanya tentang Bali, tetapi juga ada dari Jawa, Sumatera, Kalimantan dan sebagainya. Traveler bisa menemukan kuliner seperti kue semprong, es cendol, bahkan suvenir lucu khas Bali.
Di sejumlah tempat, traveler akan melihat beberapa sejarah yang menceritakan hubungan Indonesia dan China. Begitupun sejarah pedagang asal China yang berkelana sampai tanah Nusantara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar