Jumat, 30 Oktober 2020

5 Gejala 'Long Covid' yang Paling Awet Nggak Hilang-hilang

 Fenomena 'long Covid' kini mulai sering terdengar bahkan telah dialami banyak pasien yang masih atau telah pulih dari infeksi COVID-19. Saat mengalami kondisi ini, seseorang terus-menerus merasakan gejala Corona dalam waktu yang lama.

Untuk mengetahui seseorang mengalami 'long Covid' atau tidak, ada beberapa tanda yang diduga kuat menjadi gejala dari fenomena tersebut. Menurut peneliti, kesulitan saat bernapas yang menjadi prediksi paling signifikan dari 'long Covid' ini.


"Meski laporan terkait 'long Covid' meningkat, tetapi masih sedikit yang mengetahui tentang prevalensi, faktor risiko, atau apapun yang bisa memprediksinya," kata para peneliti yang dikutip dari Express UK, Rabu (28/10/2020).


"Ketika dianalisis secara individual serta disesuaikan dengan usia dan jenis kelamin, setiap gejala dalam masa isolasi ini bisa memprediksi durasi penyakit itu bisa bertahan," lanjutnya.


Ada lima gejala yang diduga kuat menjadi tanda seseorang mengalami 'long Covid', yaitu:


Kelelahan

Sakit kepala

Dispnea

Suara serak

Mialgia

"Secara khusus, dispnea sudah terbukti menjadi prediktor yang signifikan dari gejala jangka panjang," jelasnya.


Selain itu, pasien yang mengalami beberapa gejala sekaligus selama tahap awal infeksi juga lebih mungkin mengalami 'long Covid'. Lebih dari 170 pasien yang mengalami gejala jangka panjang.

https://kamumovie28.com/miracles-heaven-2016/


Terima Perawatan Seperti Trump, Pasien Ini Berhasil 'Pulih' dari COVID-19


 - Seorang pasien COVID-19 bernama Melanie James merasa jauh lebih baik setelah menerima perawatan antibodi eksperimental. Perawatan ini sebelumnya diberikan pada Presiden Amerika Serikat Donald Trump, saat terinfeksi COVID-19.

Wanita yang tinggal di Cardiff, menerima transfusi antibodi monoklonal di Llandough University Hospital dan termasuk bagian dari uji klinis. Meski masih merasa sesak dan membutuhkan bantuan oksigen, ia merasa jauh lebih baik setelah menerima perawatan yang ditambahkan ke dalam uji klinis Randomized Evaluation of COVID-19 Therapy atau Recovery.


Dalam uji coba tersebut, para peneliti berusaha untuk menentukan keefektifan antibodi monoklonal dalam mencegah virus masuk ke sel tubuh dan mencegah mereka menjadi sakit yang lebih parah.


Saat virus masuk ke dalam tubuh, antibodi itu akan mencegah virus menempel pada sel tubuh. Tetapi, setiap orang menghasilkan jenis antibodi yang berbeda, salah satunya antibodi penetral.


Untuk mengetahuinya, para ilmuwan 'menyaring' antibodi untuk menemukan yang terbaik dan bisa menempel pada sel. Selanjutnya, antibodi itu akan digandakan di laboratorium, diproduksi dalam jumlah besar, dan diberikan pada pasien COVID-19 untuk meningkatkan respons kekebalan mereka.


"Saya mulai merasa lebih baik setelah melakukan transfusi, dan jumlah bantuan oksigen yang saya dapatkan malam itu lebih sedikit dari biasanya," kata Melanie yang dikutip dari New York Post, Rabu (28/10/2020).


"Meskipun saya masih dalam pemulihan, saya sudah merasa jauh lebih baik daripada minggu lalu," lanjutnya.


Pemimpin tim peneliti dewan kesehatan, Zoe Hilton, merasa senang karena Melanie bisa merasa lebih baik setelah menerima perawatan tersebut. Tetapi, ia menegaskan bahwa ini masih dalam tahap percobaan yang sangat awal.


Sebelumnya, saat terinfeksi COVID-19 Presiden Donald Trump menerima pengobatan berupa dexamethasone, remdesivir, hingga koktail antibodi Regeneron. Selain itu, adapun beberapa obat pendukung yang juga diberikan yaitu vitamin D, zinc, melatonin, dan aspirin.

https://kamumovie28.com/sayonara-debussy-pianist-tantei-misaki-yosuke-2016/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar