Kamis, 15 Oktober 2020

Kasus Reinfeksi Muncul, Tanda Antibodi COVID-19 Tak Bertahan Lama?

 Kejadian reinfeksi COVID-19 kembali dilaporkan terjadi di sejumlah negara. Kali ini dialami oleh pasien berusia 25 tahun asal Nevada, Amerika Serikat.

Saat terinfeksi kedua kalinya, pasien ini mengalami gejala yang lebih parah dari sebelumnya. Hal ini memunculkan kekhawatiran akan respons kekebalan atau antibodi yang didapatkan pasien sembuh COVID-19.


Dalam sebuah penelitian, ilmuwan telah memperhatikan orang dengan gejala ringan atau tanpa gejala sama sekali, cenderung memiliki respons kekebalan yang lebih lemah terhadap COVID-19.


"Mereka yang pulih di rumah tanpa perawatan di rumah sakit cenderung memiliki jumlah antibodi tidak terlalu tinggi," kata Dr Otto Yang dari UCLA dalam studi yang dipublikasikan di jurnal The New England Journal of Medicine.


Penelitian lain yang lakukan oleh Icahn School of Medicine di Mt. Sinai di New York yang mengamati 20 ribu pasien COVID-19 gejala ringan-sedang menemukan 90% dari orang-orang itu memiliki respons antibodi yang bertahan setidaknya tiga bulan.


Hanya saja sampai saat ini para peneliti masih terus mencoba untuk mempelajari dan memahami terkait berapa lamanya antibodi virus Corona bisa bertahan. Hal ini berguna untuk menjaga tubuh dari virus tersebut.


"Kami masih harus belajar tentang virus ini dan (jumlah) kekebalan yang kami butuhkan untuk melindungi diri dari virus ini," lanjutnya.

https://cinemamovie28.com/black-stockings/


Vaksinasi COVID-19 Sebentar Lagi, Mitos Soal Vaksin Ini Tak Perlu Dipercaya


Pemerintah Indonesia berencana akan memulai vaksinasi COVID-19 pada Desember 2020. Setidaknya ada tiga kandidat vaksin COVID-19 yang bakal masuk ke RI pada November yakni buatan Sinovac, Sinopharm dan Cansino.

Hal ini juga disampaikan oleh Staf Ahli Menteri Kesehatan Alexander Kaliaga Ginting yang menyebut penyuntikan vaksin COVID-19 rencananya dimulai Desember 2020. Vaksin COVID-19 yang tiba di Indonesia disebut potensial dan bisa disuntikkan sambil menunggu hasil uji klinis selesai.


Namun hingga saat ini masih banyak sekali mitos tentang vaksinasi yang membuat beberapa pihak ragu dan enggan divaksin. Dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli Windhi Kresnawati menyebutkan bahwa beredarnya mitos memang menjadi hambatan program vaksinasi sejak dulu.


"Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga mengamini bahwa satu dari sepuluh ancaman kesehatan global adalah keraguan orang atas vaksin," katanya dikutip dari laman resmi Satgas Penanganan COVID-19, Kamis (15/10/2020).


Berikut mitos tentang vaksin yang beredar di masyarakat yang tak perlu dipercayai.


1. Mitos: Anak yang diimunisasi tetap bisa sakit

Windhi menjelaskan meski anak mengalami sakit, tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi sangat ringan. Anak-anak yang diimunisasi, bila sakit, akan terhindar dari kecacatan dan kematian.


"Dan jangan lupa, kalau Anda tidak diimunisasi dan Anda tidak sakit, berterimakasihlah kepada orang yang diimunisasi. Karena itulah herd immunity. Ketika kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit," ujar Windhi.


2. Mitos: Vaksin memiliki zat berbahaya

Vaksin yang sudah diproduksi massal harus memenuhi syarat aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya. Artinya, vaksin yang tersedia sudah terbukti aman dan tidak memiliki kandungan zat berbahaya.


"Setelah dinyatakan aman, dipakai oleh masyarakat luas di bawah monitoring. Kalau negara kita di bawah BPOM. Karena satu saja ada temuan efek samping yang tidak diinginkan itu bisa ditarik dan biasanya itu ketahuan di fase awal," ujar Windhi.


3. Mitos: Vaksin sebabkan autisme

Mitos ini juga paling banyak dipercayai masyarakat. Windhi menegaskan tidak ada kaitan vaksinasi terhadap autisme pada anak. Hal ini disimpulkan pada penelitian lebih dari 10 tahun.


Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin dituduh memicu autisme pada anak. Kandungan ini berfungsi sebagai pengawet vaksin.


Amerika Serikat pernah menghapuskan kandungan thimerosal pada tahun 1999 karena takut bahwa kandungannya bisa memicu autisme. Tapi faktanya, setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di Amerika Serikat tidak turun.


"Jadi jangan termakan hoaks dengan thimerosal penyebab autisme. Banyak sekali penelitiannya dan mudah sekali mencarinya di internet" kata Windhi.

https://cinemamovie28.com/dogpa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar