Diterpa dugaan kerugian negara miliaran rupiah terkait pengadaan reagen PCR, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) membeberkan kronologi awal mula pembelian reagen.
Menurut Dra Prasinta Dewi, MAP Deputi Bidang Logistik dan Peralatan, BNPB mulanya membeli reagen PCR berdasarkan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Pengendalian Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) lantaran belum ada acuan dari Kementerian Kesehatan RI.
"Kita juga waktu itu belum ada patokan atau acuan kami atau standar dari Kemenkes barang seperti apa yang harus kami adakan. Karena ini keputusan harus diambil cepat, kita memiliki daftar WHO dan CDC," jelas Prasinta dalam konferensi pers BNPB Selasa (16/4/2021).
"Kemudian dari situ kita mengambil beberapa daftar itu mencari penyedia yang memiliki sumber daya tersebut," lanjutnya.
Prasinta menyebut, pengadaan reagen PCR juga melibatkan pihak Balitbangkes dan tim pakar untuk mengetahui alat kesehatan seperti apa yang dibutuhkan. Pengadaan dipercepat karena kondisi pandemi yang membuat tes COVID-19 perlu ditingkatkan saat semakin banyak jumlah sampel pasien yang harus diperiksa.
Hal senada disampaikan Dr dr Andani Eka Putra, MSc, Tenaga Ahli Menteri Kesehatan Bidang Penanganan COVID-19. Menurutnya, pengadaan reagen PCR oleh BNPB malah sangat membantu sebelum sempat kewalahan saat wabah COVID-19 baru merebak di Indonesia.
Andani menyebut reagen saat itu seperti barang langka. Ia mengaku, sampai harus meminjam kit reagen ke negara lain untuk menyocokkan lebih dulu seperti apa reagen dengan hasil yang valid.
"Sulitnya minta ampun. Saya masih ingat di awal-awal untuk dapat kit primer saja saya harus minjam punya orang. Jadi sistemnya belum multiple seperti sekarang, masih individual."
https://nonton08.com/movies/love-and-affair/
"Reagen itu barangnya sulit, barang Eropa semua. Jadi mereka kirim ke Indonesia itu mungkin hanya 50 box, 50 box untuk semua lab, sehingga apa yang terjadi? Kita cuma dapat satu box untuk 50 sampel," lanjut Andani.
Imbasnya, pemeriksaan sampel lantas hanya bisa dilakukan sangat terbatas. Jika kit reagen sudah habis, laboran tidak bisa meneruskan uji sampel yang terus berdatangan.
"Jadi misal hari ini berjalan kitnya habis, reagen habis, besoknya libur. Sementara sampel masuk terus, dan itu menyedihkan," kata Andani.
"Dan itu kita jalani sampai satu bulan lah kira-kira seperti itu. Maka testing kita itu awalnya paling sukses 60 sampel 90 sampel, kemudian libur sehari, dua hari," jelasnya.
Setelah kesulitan selama kurang lebib sebulan, pengadaan reagen dari BNPB diklaim Andani membantu mengatasi kondisi yang serba rumit di awal wabah COVID-19.
"Ketika di BNPB saya melihat pengadaan reagen sudah mulai rapih, dan alhamdulillah reagen-reagen yang ada setelah kita validasi itu umumnya bagus," jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Simak kronologi pengadaan reagen PCR di BNPB di halaman berikutnya.
April 2020
Penawaran sebesar 500 ribu test namun Surat Pesanan menyesuaikan stok yang tersedia, sehingga jumlah pengadaan sebesar 499.200 test reagen PCR, RNA, dan VTM dari PT Mastindo Mulia.
April-Mei 2020
Bersama Balitbangkes Kemenkes melakukan distribusi 499.200 test ke 88 lab di 31 provinsi.
Agustus 2020
Ditemukan sejumlah 473.984 RNA Sansure tidak bisa digunakan di beberapa lab. Untuk reagen PCR dan VTM bisa digunakan oleh lab.
Agustus-Desember 2020
BNPB bersama Gugas dan Litbangkes menindaklanjuti hasil audit BPKB dengan membuat surat penarikan ke laboratorium penerima. Sampai dengan per 31 Desember 2020 ditarik sebanyak 202.560 tes dari 26 lab. Sisa 271.424 tes RNA bisa digunakan di lab atau dikembalikan ke Dinkes Prov untuk dilakukan redistribusi.
Akhir Desember 2020
BNPB bersama Gugas melakukan redistribusi sejumlah 137.280 test RNA merek Sensure ke 12 lab.
Januari-Maret
Redistribusi sejumlah 65.280 test ke 4 lab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar