- Salah satu efek lingkungan yang terlihat di awal pandemi COVID-19 adalah polusi udara yang menurun. Tapi, seiring banyak negara mulai melonggarkan lockdown level polusi udara perlahan mulai naik kembali.
European Space Agency (ESA) mengatakan tingkat nitrogen dioksida di China mulai kembali ke level sebelum COVID-19. Gas ini biasanya dihasilkan oleh konsumsi bahan bakar serta emisi dari kendaraan bermotor dan pembangkit listrik.
ESA memfokuskan satelit Copernicus Sentinel-5P ke China dan memantau level nitrogen dioksida di sana antara tahun 2019 dan 2021. Data satelit menunjukkan adanya penurunan polusi udara di tahun 2020 saat China menerapkan lockdown.
Seperti diketahui, China menerapkan lockdown ketat pertama di kota Wuhan pada Januari 2020 yang kemudian diperluas ke lebih banyak wilayah. Tapi mereka juga termasuk salah satu negara yang melonggarkan lockdown terlebih dahulu.
Dari foto satelit yang dirilis ESA, terlihat perbedaan level nitrogen dioksida yang sangat mencolok di China bagian tengah dan timur antara Februari 2019, Februari 2020 dan Februari 2021.
"Kini, lebih dari satu tahun kemudian, saat pembatasan telah dilonggarkan, rata-rata level polusi udara mulai pulih dan meningkat lagi," kata ESA dalam keterangan resminya, Rabu (17/3/2021).
Mission Manager Copernicus Sentinel-5 Claus Zehner mengatakan naiknya level polusi udara sudah diperkirakan. Meski kadar konsentrasi nitrogen dioksida bisa dipengaruhi kondisi cuaca, lockdown memiliki peran lebih besar dalam naik dan turunnya polusi udara.
Sebagai salah satu negara yang paling awal menerapkan lockdown, China juga menjadi negara yang paling pertama melonggarkan pembatasan. Pola kenaikan polusi udara pun diperkirakan akan muncul di lebih banyak negara yang mulai keluar dari lockdown.
"Dalam beberapa minggu dan bulan yang akan datang, kami juga memperkirakan kenaikan konsentrasi nitrogen dioksida di seluruh Eropa," ucap Zehner.
https://kamumovie28.com/movies/martabak-bangka/
Remaja Pembobol Akun Twitter Bill Gates, cs Dihukum 3 Tahun Penjara
Hacker remaja yang membobol akun Twitter milik Bill Gates, Joe Biden dan sederet tokoh ternama lainnya tahun lalu untuk melakukan penipuan bitcoin, dijatuhi hukuman penjara tiga tahun.
Graham Ivan Clark, yang berusia 17 tahun saat menjalankan aksinya tahun lalu, mengaku bersalah atas tuduhan penipuan terorganisir. Ia dijatuhi hukuman sebagai 'pelaku remaja' dan akan menjalan tiga tahun hukuman penjara untuk anak muda diikuti dengan tiga tahun masa percobaan.
Karena dijatuhi hukuman sebagai remaja, Clark memenuhi syarat untuk menjalankan hukumannya di 'kamp pelatihan'. Selama menjalani hukumannya, ia tidak boleh menggunakan komputer tanpa izin dan tanpa pengawasan dari penegak hukum.
Waktu yang ia habiskan di penjara selama menunggu waktu sidang akan dihitung sebagai waktu hukuman yang telah dijalani.
"Graham Clark perlu dimintai pertanggungjawaban atas kejahatan itu, dan calon penipu lainnya di luar sana perlu melihat konsekuensinya," kata jaksa Hillsborough Andrew Warren dalam keterangan resminya, seperti dikutip dari The Guardian, Rabu (17/3/2021).
"Dalam kasus ini, kami dapat memberikan konsekuensi sambil menyadari bahwa tujuan kami bersama anak mana pun, jika memungkinkan, adalah membuat mereka belajar tanpa merusak masa depan mereka," sambungnya.
Clark membobol akun Twitter milik tokoh ternama seperti Elon Musk, Bill Gates, Joe Biden, Barrack Obama, dan lain-lain pada 15 Juli 2020. Setelah berhasil membobol akun-akun tersebut, ia mengirimkan cuitan untuk mempromosikan penipuan bitcoin.
Penipuan tersebut menjanjikan semua bitcoin yang dikirimkan ke alamat yang tersedia akan dilipatgandakan. Clark berhasil meraup USD 100.000 dalam skema penipuan tersebut, yang kini sudah dikembalikan.
Clark berhasil mengakses akun-akun tersebut setelah meyakinkan seorang pegawai Twitter bahwa ia bekerja sebagai salah satu staff IT di perusahaan media sosial tersebut. Ia kemudian berhasil mengakses alat internal Twitter yang kemudian digunakan untuk mengambil alih akun-akun tersebut.
Tidak lama setelah menjalankan aksinya, Clark ditahan di rumahnya di Hillsborough, Florida. Ia bekerja dengan dua kolaborator, Nima Fazeli dari Orlando, AS dan Mason Sheppard dari Inggris yang saat ini masih menjalani kasus hukumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar