Senin, 16 Desember 2019

Mencari Surga di Sumba

Indonesia itu sangat indah, salah satu keindahannya adalah Sumba. Mari mencari 'surga' di sana.

Ada perasaan berkecamuk ketika pesawat NAM Air dari Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali hendak mendarat di Bandara Tambolaka, Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari atas ketinggian jelas sangat terlihat wilayah Sumba Barat Daya didominasi warna kecokelatan. Warna yang tidak pernah diharapkan sekali pun oleh banyak wisatawan.

Sinar matahari memang sangat melimpah di Sumba Barat Daya. Matahari bersinar dengan sangat terik selama 8 jam. Tanpa henti terus bersinar tanpa halangan membuat tanah Sumba Barat Daya. Tak heran jika dari atas Sumba Barat Daya terlihat kecokelatan. Sinar matahari yang melimpah ini pula yang membuat pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kawasan Bilacenge, Sumba Barat Daya, NTT.

Dengan panas yang sangat terik itu, masihkah ada surga di Sumba Barat Daya? Sulit menjawabnya karena banyak wisatawan justru menggunakan Bandara Tambolaka sebagai tempat transit. Bahkan jika berangkat dari Jakarta terlebih dulu kita harus transit di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Setelah itu, bagi yang ingin berwisata ke Pulau Komodo dan Pulau Parai, hanya sekadar menjejakkan kami sementara dan kembali terbang meninggalkan Bandara Tambolaka.

Perjalanan yang sedikit rumit ini untungnya dapat dilakukan dengan mudah oleh para wisatawan hanya dengan memesan tiket.com. Pemesanan tiket pesawat melalui tiket.com jauh lebih mudah ketimbang melakukan perjalanan itu sendiri.

Lalu apakah Anda merasa perlu singgah di Sumba Barat Daya? Layakkah berwisata di sebuah tempat dengan matahari yang super menyengat? Percayalah, Sumba Barat Daya bukanlah sekadar tempat persinggahan. Sumba Barat Daya, seperti wilayah lainnya diIndonesia, juga memiliki daya magisnya tersendiri bagi semua orang yang datang dengan rasa ikhlas.

"Kita ke Desa Rotenggaro dulu kak. Perjalanannya cukup satu setengah jam dari bandara," kata Vincent, guide yang menemani saya begitu bertemu di mulut Bandara Tambolaka.

Tanpa ada rasa lelah saya langsung bergegas mengikuti petunjuk Vincent. Perjalanan satu setengah jam dalam ukuran kota tentu sangat normal. Tapi ini di luar kota, di wilayah timur Indonesia lagi. Tentu waktu satu setengah jam akan jadi perjalanan yang membosankan. Untungnya kondisi jalan ke Rotenggaro terbilang masih sangat mulus.

Jalan-jalan rusak hanya ditemui di daerah dekat Ratenggaro. Begitu sampai di lokasi, sesuai dugaan, kami hanya satu-satunya rombongan wisatawan yang datang ke Desa Rotenggaro.

"Ini hari biasa makanya terlihat sepi. Biasanya kalau akhir pekan cukup ramai kak," ucap Vincent.

Namun suasana yang sepi itu membuat kami jadi benar-benar menikmati suasana desa yang kuat dengan nuansa megalitikum itu. Kehadiran batu-batu besar yang sejatinya merupakan makam dan rumah adat Sumba itu membuat suasana Desa Ratenggaro terasa membius.

Tuhan sangat bermurah hati dengan warga Tenggaro. Di tengah iklim yang superpanas, Desa Ratenggaro terlukis eksotis karena posisinya yang tepat di bibir dataran yang bersinggungan langsung dengan pantai. Saat air laut surut pengunjung bisa turun ke bawah dan menikmati segarnya air laut Sumba.

Menikmati setiap sudut Desa Ratenggaro juga jadi kasyikan tersendiri. Setiap melangkah anak-anak Desa Ratenggaro selalu berlari-larian menyambut kami. Kehadiran mereka jadi keasyikan tersendiri karena keramahan mereka begitu terasa hingga ke hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar