Sabtu, 23 Mei 2020

Fakta Ignaz Semmelweis, Pelopor Cuci Tangan yang Jadi Google Doodle

Pelopor cuci tangan Ignaz Semmelweis menjadi salah satu trending di Google. Gambar dalam bentuk kartun dirinya tampil menjadi Google Doodle hari ini.
Terlihat, kartun Ignaz Semmelweis tengah memegang jam dan ada gerakan cuci tangan, mulai dari menggosok telapak tangan hingga ke sela-sela jari.

Biografi Ignaz Semmelweis:
1. Lahir di Hungaria
Ignaz Semmelweis lahir pada 1 Juli 1818 di kota Budapest, Hungaria. Namun, ia lebih dikenal sebagai dokter asal Jerman karena banyak menempuh pendidikan di negara tersebut.

2. Lulusan Spesialis Kebidanan
Sebelum dikenal sebagai pelopor pencuci tangan, Ignaz Semmelweis menempuh pendidikan di bidang spesialis kebidanan di Jerman. Ia mendapatkan gelarnya di Universitas Vienna.

3. Bekerja di Rumah Sakit
Pada tahun 1846 Ignaz Semmelweis memutuskan untuk bekerja di Rumah Sakit Umum Vienna. Kala itu, ia dipercaya menjadi asisten profesor Johann Klein dan bersama-sama memimpin klinik bidan.

4. Pelopor gerakan Cuci Tangan
Pada saat memimpin klinik bidan tersebut, Ignaz Semmelweis dihadapkan dengan infeksi misterius yang menyebabkan angka kematian ibu yang baru melahirkan meningkat.

Dengan segala upaya, Ignaz Semmelweis pun mencari tahu penyebab kematian tersebut. Hingga akhirnya ia menemukan bahwa tangan para dokter membawa infeksi kepada ibu yang rentan.

Pada tahun 1847, ia pun menginisiasi para dokter untuk hand washing atau mencuci tangan sebelum melakukan operasi. Dengan begitu, infeksi yang ditularkan dari tangan bisa berkurang.

5. Jadi Google Doodle
Ignaz Semmelweis ditampilkan dalam Google Doodle hari ini. Ia dianggap berjasa karena telah mempelopori gerakan cuci tangan. Bahkan, jasa Ignaz Semmelweis juga dibuat film berjudul 'Semmelweis'.

Kelebihan Vs Kelemahan Rapid Test Kit untuk Screening Massal Corona

 Indonesia mulai mendatangkan alat rapid test untuk menghadapi wabah virus corona COVID-19. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta para menteri dan Gugus Tugas COVID-19 segera melakukan rapid test ini untuk mendeteksi virus corona dengan cakupan lebih besar.
"Kedua, segera lakukan rapid test, tes cepat dengan cakupan lebih besar agar deteksi dini kemungkinan indikasi awal seseorang terpapar COVID-19 bisa dilakukan," kata Jokowi dalam ratas yang disiarkan langsung lewat akun YouTube Sekretariat Presiden, Kamis (19/3/2020).

Untuk mengecek status infeksi corona, biasanya metode yang digunakan selama ini adalah real time polymerase chain reaction (RT-PCR). Lewat cara tersebut peneliti di laboratorium akan melihat jejak genetik virus di dalam sampel swab saluran napas.

Sementara itu alat rapid test bekerja menggunakan sampel darah. Apa saja kelebihan dan kelemahan rapid test ini? Berikut rangkumannya:

1. Kelebihan
Virus corona tidak hidup di darah, tetapi seseorang yang terinfeksi akan membentuk antibodi yang disebut immunoglobulin, yang bisa dideteksi di darah. Immunoglobulin inilah yang kemudian dideteksi dengan rapid test.

Sederhananya rapid test bisa mendeteksi apakah seseorang pernah terpapar atau tidak.

Rapid test punya kelebihan lebih mungkin dilakukan secara massal karena tidak membutuhkan pemeriksaan di laboratorium biosecurity level II. Hampir semua laboratorium kesehatan di Indonesia bisa melakukannya.

Hasil dari rapid test juga bisa didapatkan dengan cepat, hanya sekitar 20 menit.

"Untuk skrining di bandara misalnya, rapid diagnostik cukup menjanjikan karena hanya 20 menit," kata Ahmad Rusdan Handoyo Utomo PhD, Principal Investigator dari Stem-cell and Cancer Research Institute.

2. Kelemahan
Pemeriksaan dengan rapid test memiliki kelemahannya sendiri. Ini karena tes bisa memberikan hasil 'false negative' yakni tampak negatif meski sebenarnya positif. Ini terjadi bila tes dilakukan pada fase yang tidak tepat.

Ahmad menjelaskan Sistem imun menurut membutuhkan waktu sekitar satu hingga dua minggu untuk mulai memproduksi antibodi. Artinya bila seseorang yang terinfeksi corona dites sebelum antibodi terbentuk, maka hasil yang akan keluar adalah negatif.

Dalam jurnal berjudul 'Antibody responses to SARS-CoV-2 in patients of novel coronavirus disease 2019', Ahmad mengatakan sensitivitas rapid test serologi sekitar 36 persen dari 100 kasus COVID-19.

"Sensitivitas tes serologi itu sekitar 36 persen, kalau tidak salah. Jadi dari 100 kasus yang terkonfirmasi COVID-19 dia bisa mendeteksi sekitar 30. Jadi itu harus hati-hati," kata Ahmad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar