Sabtu, 23 Mei 2020

Hati-hati, Usia Muda Tidak Kebal dari Komplikasi Virus Corona

Data awal yang dihimpun otoritas kesehatan China menyebut orang yang paling berisiko mengalamki komplikasi dan gejala berat virus corona COVID-19 adalah lansia dan mereka yang memiliki riwayat penyakit penyerta. Meski tidak sepenuhnya salah, beberapa ahli mengungkapkan orang muda tidak sekebal yang diperkirakan sebelumnya.
Di Amerika Serikat, misalnya, data dari CDC menunjukkan dari 2,500 pasien, 29 persen berusia 20-44 tahun. Dalam kelompok yang dirawat di rumah sakit, sekitar 20,8 persen berusia kisaran 20 tahun dan 18 persen berusia 45-54 tahun. Di ruang ICU, 12 persen bahkan berusia di bawah 45 tahun, beberapa dinyatakan meninggal.

Tak jauh beda, Jerome Salomon, Direktur Jenderal Kesehatan Prancis, mengumumkan lebih dari 50 persen pasien COVID-19 yang dirawat di ruang ICU dan dalam pengawasan intensif masih berusia di bawah 60 tahun.

Beberapa pasien virus corona COVID-19 di Amerika Serikat yang dirawat di ICU adalah dokter yang berusia di bawah 45 tahun. Meski demikian, Koushik Kasanagottu, seorang residen penyakit dalam di Johns Hopkins Bayview di Baltimore mengungkapkan meski ada kasus orang muda mengalami kondisi fatal, kita tidak bisa menarik kesimpulan hanya dengan melihat satu kasus.

"Sejauh ini kami melihat sebagian besar keparahan yang berkaitan dengan COVID-19 dialami lansia dan mereka yang memiliki gangguan kekebalan tubuh. Namun, tidak ada batas absolut. Tentu saja ada beberapa kasus penyakit parah pada pasien di bawah usia 60 tahun," kata Kasanagottu, dikutip dari Healthline.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO, kebanyakan kasus virus corona mengalami penyakit ringan. Namun 14 persen di antaranya mengembangkan penyakit parah dan perlu di rawat di ICU.

Craig Coopersmith, Direktur Pelaksana Pusat Perawatan Kritis Emory di Fakultas Kedokteran Universitas Emory, menyebut memang angka kematian virus corona di dominasi oleh orang tua. Namun tidak berarti
usia muda tak memiliki risiko.

"Secara umum, pasien lebih tua dan yang memiliki komorbiditas mengalami kondisi lebih buruk. Tapi tidak berarti jika masih muda dan sehat, Anda terjamin 100 persen bebas virus dan tidak mengalami kondisi buruk," jelas Coopersmith.

Kemungkinan lain adalah beberapa usia muda bisa saja memiliki masalah kesehatan yang tidak terdiagnosis. Melihat kecenderungan saat ini tren penyakit tidak menular juga dialami oleh banyak kaum muda, yang menempatkan mereka pada risiko.

Perokok dan pengguna vape atau rokok elektrik pun kemungkinan akan mengalami risiko komplikasi tinggi virus corona karena telah mengalami kerusakan paru-paru. Meski kasus di usia dewasa muda masih relatif ringan, mereka juga harus tetap menjaga jarak, mencuci tangan teratur dan istirahat cukup.

"Semua orang harus paham bahwa mereka berisiko, bahkan bisa menularkan walau tidak menunjukkan gejala," pungkas Coopersmith.

Fakta Ignaz Semmelweis, Pelopor Cuci Tangan yang Jadi Google Doodle

Pelopor cuci tangan Ignaz Semmelweis menjadi salah satu trending di Google. Gambar dalam bentuk kartun dirinya tampil menjadi Google Doodle hari ini.
Terlihat, kartun Ignaz Semmelweis tengah memegang jam dan ada gerakan cuci tangan, mulai dari menggosok telapak tangan hingga ke sela-sela jari.

Biografi Ignaz Semmelweis:
1. Lahir di Hungaria
Ignaz Semmelweis lahir pada 1 Juli 1818 di kota Budapest, Hungaria. Namun, ia lebih dikenal sebagai dokter asal Jerman karena banyak menempuh pendidikan di negara tersebut.

2. Lulusan Spesialis Kebidanan
Sebelum dikenal sebagai pelopor pencuci tangan, Ignaz Semmelweis menempuh pendidikan di bidang spesialis kebidanan di Jerman. Ia mendapatkan gelarnya di Universitas Vienna.

3. Bekerja di Rumah Sakit
Pada tahun 1846 Ignaz Semmelweis memutuskan untuk bekerja di Rumah Sakit Umum Vienna. Kala itu, ia dipercaya menjadi asisten profesor Johann Klein dan bersama-sama memimpin klinik bidan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar