Kamis, 30 April 2020

Teori Konspirasi Selalu Bikin Penasaran? Memang Begitulah Sifat Otak

Teori konspirasi bermunculan di tengah pandemi virus Corona. Banyak di antaranya tampak meyakinkan, meski setelah ditelusur sumbernya sulit dipertanggungjawabkan.
Dokter ahli bedah saraf, dr Roslan Yusni Al Imam Hasan, SpBS, dari Mayapada Hospital Tangerang, menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan kemampuan kognitif otak. Kemampuan inilah yang disebutnya membuat orang cenderung tertarik pada teori konspirasi.

"Ya memang begitulah cara kerja otak manusia. Secara evolusioner, kemampuan kognitif otak manusia adalah kemampuan pengenalan dan memetakan pola yang bisa secara efektif memberikan kemungkinan lebih besar untuk survive," ungkap dr Ryu, sapaan akrabnya, saat dihubungi detikcom, Rabu (29/4/2020).

"Di zaman purba, kemampuan otak manusia untuk memperkirakan cuaca, perilaku binatang buruan, kapan buah bisa dimakan, atau ancaman predator sangat penting memperbesar kemungkinan survivabilitas manusia," lanjutnya.

Cara kerja otak manusia, menurut dr Ryu, cenderung lebih mencari cara untuk bertahan dan selamat dari sesuatu yang membahayakan, dibandingkan harus memilih mencari tahu kebenarannya.

"Kalau rumput tinggi yang bergoyang-goyang, mungkin ada macan yg mendekat di baliknya atau ya hanya karena tiupan angin aja. Meyakini ada macan di balik rumput bergoyang, akan membuat orang ngibrit (berlari) menjauh secepatnya. Ini akan menyelamatkan hidup manusia itu, kalau keyakinannya benar," begitu analogi yang ia paparkan.

"Tapi kalau keyakinan ada itu macan ternyata salah, ya manusianya nggak rugi-rugi amat, paling ngos-ngosan saja dikit. Tapi kalau si manusia malah pengen verifikasi keyakinannya karena dia percaya itu hanya angin, matilah dia kalau ternyata itu macan," lanjutnya.

Maka menurutnya, tak heran jika sampai saat ini asumsi yang paling mengancam manusia lebih banyak muncul dibandingkan dengan asumsi lain. Pada akhirnya, ia menyebut segala cara rasional juga akan dicari orang tersebut untuk mendukung asumsi seperti teori konspirasi.

"Ya memang benar bahwa cara mengambil asumsi dan keputusan semacam ini bertolak belakang dengan metode pemikiran rasional (sains) yang membangun asumsi berdasarkan fakta yang ada. Tapi faktanya juga, ratusan ribu tahun manusia selamat tanpa sains. Jadi ya jangan heran kalau lebih banyak manusia yang berteori konspirasi ketimbang orang yang mendahulukan verifikasi. Karena memang begitulah cara kerja otak manusia," pungkasnya.

Haruskah Bahan Makanan Dicuci Pakai Sabun Agar Bebas Virus Corona?

Persediaan kebutuhan pokok seperti bahan makanan, buah, dan sayur perlu disiapkan selama menjalani puasa di tengah pandemi virus Corona. Tetapi untuk mencegah terjadinya penularan virus, apakah perlu mencuci bahan makanan dengan menggunakan sabun sebelum diolah?
Menurut ahli gizi komunitas dr Tan Shot Yen, hingga kini belum ada penelitian yang menyatakan bahan makanan bisa menjadi perantara penularan virus.

"Belum ada penelitian yang menyebut sayur dan buah atau belanjaan kalian itu sebagai media untuk penularan virus," kata dr Tan, Rabu (29/4/2020).

"Prinsipnya adalah justru sebelum dan sesudah kamu menyentuh makanan-makanan itu, kamu harus cuci tangan selama 20 detik dan mencucinya harus benar," lanjutnya.

dr Tan juga mengatakan jika bahan makanan dicuci menggunakan sabun atau antiseptik justru akan berbahaya bila tidak dicuci sampai bersih.

"Yang lebih bahayanya lagi adalah kalau mengolah makanan dengan segala cairan antiseptik dan sebagainya atau dengan sabun lalu itu tersisa di dalam makanan dan kalian makan, ya wasalam," tuturnya.

Kenali 14 Zat Gizi untuk Imunitas Agar Tubuh Tak Mudah Terserang Corona

 Sistem imun atau kekebalan tubuh adalah benteng utama pertahanan terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Selain menjaga kebersihan dengan cuci tangan dan menggunakan masker, asupan gizi yang baik juga sangat penting agar tak mudah terserang penyakit terutama di pandemi virus Corona COVID-19 seperti saat ini.
Zat gizi baik mikro dan makro sangat diperlukan untuk fungsi imunitas tubuh yang diperoleh dari konsumsi makanan beragam dan seimbang sesuai kebutuhan.

Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan (PKGK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ir Ahmad Syafiq, MSc, PhD, mengatakan untuk menjaga kondisi tubuh tetap optimal dibutuhkan imunitas yang tangguh untuk dapat mendukung tubuh beradaptasi dengan berbagai macam virus dan penyakit.

"Untuk menjaga imunitas, kita memerlukan beragam asupan gizi, salah satunya protein hewani yang tentunya dikonsumsi sesuai dengan pedoman gizi seimbang. Kalau kurang gizi, sistem imun turun karena zat gizi yang diperlukan tidak tersedia," jelas Ahmad dalam diskusi online pada Rabu (29/4/2020).

Adapun zat gizi yang diperlukan tubuh antara lain:

1. Asam amino esensial: daging ayam, daging sapi, ikan, susu, dan telur
2. Asam lemak esensial: ikan kembung, ikan laut
3. Vitamin A: minyak ikan, hati sapi, hati ayam, wortel, dan kuning telur
4. Asam folat: hati sapi, sayuran hijau, buah, kacang-kacangan
5. Vitamin B6: hati ayam, daging ayam, daging sapi, ubi jalar
6. Vitamin B12: hati ayam, kerang, ikan, susu, tahu, yogurt
7. Vitamin C: jambu biji, brokoli, pepaya, jeruk, lemon, stroberi
8. Vitamin D: daging merah, hati ayam, kuning telur, susu fortifikasi
9. Vitamin E: kuaci, almond, minyak jagung, margarin, minyak zaitun
10. Zinc: hati sapi, hati ayam, susu, kacang merah, kuning telur, tempe
12. Tembaga: makanan laut, hati sapi, kacang-kacangan, cokelat
13. Zat besi: hati sapi, telur, daging ayam, daging sapi
14. Selenium: ikan laut, udang, daging ayam, daging sapi, telur, susu

Dianjurkan juga untuk makan makanan yang beraneka ragam. Sebab zat gizi yang diperlukan agar fungsi imun bisa bekerja dengan baik cukup banyak.

"Hampir tidak ada makanan yang mengandung semuanya sehingga disarankan untuk fokus ke makanan yang mengandung beberapa sumber zat gizi dalam satu kali makan," pungkasnya.

Teori Konspirasi Selalu Bikin Penasaran? Memang Begitulah Sifat Otak

Teori konspirasi bermunculan di tengah pandemi virus Corona. Banyak di antaranya tampak meyakinkan, meski setelah ditelusur sumbernya sulit dipertanggungjawabkan.
Dokter ahli bedah saraf, dr Roslan Yusni Al Imam Hasan, SpBS, dari Mayapada Hospital Tangerang, menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan kemampuan kognitif otak. Kemampuan inilah yang disebutnya membuat orang cenderung tertarik pada teori konspirasi.

"Ya memang begitulah cara kerja otak manusia. Secara evolusioner, kemampuan kognitif otak manusia adalah kemampuan pengenalan dan memetakan pola yang bisa secara efektif memberikan kemungkinan lebih besar untuk survive," ungkap dr Ryu, sapaan akrabnya, saat dihubungi detikcom, Rabu (29/4/2020).

"Di zaman purba, kemampuan otak manusia untuk memperkirakan cuaca, perilaku binatang buruan, kapan buah bisa dimakan, atau ancaman predator sangat penting memperbesar kemungkinan survivabilitas manusia," lanjutnya.

Cara kerja otak manusia, menurut dr Ryu, cenderung lebih mencari cara untuk bertahan dan selamat dari sesuatu yang membahayakan, dibandingkan harus memilih mencari tahu kebenarannya.

"Kalau rumput tinggi yang bergoyang-goyang, mungkin ada macan yg mendekat di baliknya atau ya hanya karena tiupan angin aja. Meyakini ada macan di balik rumput bergoyang, akan membuat orang ngibrit (berlari) menjauh secepatnya. Ini akan menyelamatkan hidup manusia itu, kalau keyakinannya benar," begitu analogi yang ia paparkan.

"Tapi kalau keyakinan ada itu macan ternyata salah, ya manusianya nggak rugi-rugi amat, paling ngos-ngosan saja dikit. Tapi kalau si manusia malah pengen verifikasi keyakinannya karena dia percaya itu hanya angin, matilah dia kalau ternyata itu macan," lanjutnya.

Maka menurutnya, tak heran jika sampai saat ini asumsi yang paling mengancam manusia lebih banyak muncul dibandingkan dengan asumsi lain. Pada akhirnya, ia menyebut segala cara rasional juga akan dicari orang tersebut untuk mendukung asumsi seperti teori konspirasi.

"Ya memang benar bahwa cara mengambil asumsi dan keputusan semacam ini bertolak belakang dengan metode pemikiran rasional (sains) yang membangun asumsi berdasarkan fakta yang ada. Tapi faktanya juga, ratusan ribu tahun manusia selamat tanpa sains. Jadi ya jangan heran kalau lebih banyak manusia yang berteori konspirasi ketimbang orang yang mendahulukan verifikasi. Karena memang begitulah cara kerja otak manusia," pungkasnya.

Waspada Ancaman Kesehatan karena Kurang Tidur Saat Jalani Ibadah Puasa

Saat bulan puasa, bukan hanya pola makan yang berubah tapi waktu tidur juga terganggu. Ini karena kita harus rutin bangun dini hari untuk melakukan makan sahur yang tentunya di luar jam tidur sehari-hari.
Selain itu, tidur malam pun akan semakin lambat dari biasanya karena banyak kegiatan yang ingin dilakukan seperti tarawih. Akibatnya, bisa membuat tubuh lesu bahkan mengganggu kesehatan mental dan fisik.

"Makan sahur sebelum jam 4 bisa menyebabkan kekacauan di tubuh. Akibatnya, bisa menimbulkan konsekuensi negatif pada kesehatan fisik dan mental seseorang," ujar psikiater di Priory Wellbeing Centre Dubai, Dr Walid Abdul-Hamid.

Mengutip dari Mvmuslim, ahli spesialis penyakit paru dan obat tidur di Medcare Hospital Dubai, Dr Hady Jerdak, mengatakan jika kurang tidur yang terjadi berulang-ulang bisa berbahaya untuk mental. Misalnya, meningkatkan kadar stres, perubahan mood, dan kecemasan yang berlebih.

"Itu (kurang tidur) juga bisa melemahkan sistem imun yang berfungsi untuk melawan virus, bisa meningkatkan risiko tekanan darah tinggi dan diabetes tipe 2, serta berbagai masalah yang terkait dengan penyakit jantung," jelasnya.

Agar hal tersebut tidak terjadi, Dr Abdul-Hamid memberikan beberapa saran, antara lain:

- Tidur dan bangun pada jam yang sama setiap harinya, baik lebih awal atau lambat dari jam tidur biasa.

- Hindari tidur siang.

- Jangan makan berlebihan sebelum tidur.

- Hindari konsumsi makanan cepat saji atau olahan, karena bisa mempengaruhi kualitas tidur.

- Sering-sering terkena sinar matahari pagi.

- Kurangi paparan sinar lampu saat akan tidur di malam hari.

Kenali 14 Zat Gizi untuk Imunitas Agar Tubuh Tak Mudah Terserang Corona

 Sistem imun atau kekebalan tubuh adalah benteng utama pertahanan terhadap benda asing yang masuk ke dalam tubuh. Selain menjaga kebersihan dengan cuci tangan dan menggunakan masker, asupan gizi yang baik juga sangat penting agar tak mudah terserang penyakit terutama di pandemi virus Corona COVID-19 seperti saat ini.
Zat gizi baik mikro dan makro sangat diperlukan untuk fungsi imunitas tubuh yang diperoleh dari konsumsi makanan beragam dan seimbang sesuai kebutuhan.

Ketua Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan (PKGK) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Ir Ahmad Syafiq, MSc, PhD, mengatakan untuk menjaga kondisi tubuh tetap optimal dibutuhkan imunitas yang tangguh untuk dapat mendukung tubuh beradaptasi dengan berbagai macam virus dan penyakit.

"Untuk menjaga imunitas, kita memerlukan beragam asupan gizi, salah satunya protein hewani yang tentunya dikonsumsi sesuai dengan pedoman gizi seimbang. Kalau kurang gizi, sistem imun turun karena zat gizi yang diperlukan tidak tersedia," jelas Ahmad dalam diskusi online pada Rabu (29/4/2020).

Adapun zat gizi yang diperlukan tubuh antara lain:

1. Asam amino esensial: daging ayam, daging sapi, ikan, susu, dan telur
2. Asam lemak esensial: ikan kembung, ikan laut
3. Vitamin A: minyak ikan, hati sapi, hati ayam, wortel, dan kuning telur
4. Asam folat: hati sapi, sayuran hijau, buah, kacang-kacangan
5. Vitamin B6: hati ayam, daging ayam, daging sapi, ubi jalar
6. Vitamin B12: hati ayam, kerang, ikan, susu, tahu, yogurt
7. Vitamin C: jambu biji, brokoli, pepaya, jeruk, lemon, stroberi
8. Vitamin D: daging merah, hati ayam, kuning telur, susu fortifikasi
9. Vitamin E: kuaci, almond, minyak jagung, margarin, minyak zaitun
10. Zinc: hati sapi, hati ayam, susu, kacang merah, kuning telur, tempe
12. Tembaga: makanan laut, hati sapi, kacang-kacangan, cokelat
13. Zat besi: hati sapi, telur, daging ayam, daging sapi
14. Selenium: ikan laut, udang, daging ayam, daging sapi, telur, susu

Dianjurkan juga untuk makan makanan yang beraneka ragam. Sebab zat gizi yang diperlukan agar fungsi imun bisa bekerja dengan baik cukup banyak.

"Hampir tidak ada makanan yang mengandung semuanya sehingga disarankan untuk fokus ke makanan yang mengandung beberapa sumber zat gizi dalam satu kali makan," pungkasnya.

Punya Tanda-tanda Ini? Kemungkinan Kamu Kecanduan Seks

Sebagian orang mungkin masih tidak percaya bahwa kecanduan seks itu bisa terjadi. Tak hanya pada pria, wanita juga bisa mengalami kecanduan seks.
Dikutip dari The Sun, sebuah studi menunjukkan kecanduan seks bisa disebabkan oleh oksitosin atau yang biasa disebut dengan hormon cinta. Menurut para ilmuwan Swedia, orang yang kelebihan oksitosin cenderung memiliki keinginan yang lebih kuat untuk bercinta.

Berikut ini adalah tanda-tanda seseorang memiliki perilaku seksual kompulsif atau kecanduan seks:

1. Kecanduan masturbasi
Orang yang melakukan masturbasi bukan berarti ia kecanduan seks. Tetapi masturbasi yang dilakukan secara berulang-ulang dan sering hingga mengganggu fungsi sosial bisa menjadi tanda dari kecanduan seks.

2. Suka berfantasi seks
Fantasi dan dorongan perilaku seksual yang berulang-ulang bisa menandakan seseorang kecanduan seks. Bahkan beberapa pecandu seks bisa 'tenggelam' dalam fantasinya sendiri, sehingga ini dapat mengganggu produktivitasnya.

3. Tak bisa hentikan dorongan seks
Desakan kuat serta fantasi untuk melakukan seks membuat mereka seolah-olah sedang berada di luar kendali. Mereka memiliki kesadaran bahwa dorongan seks itu tidak bisa dikendalikan, terlepas dari konsekuensi keuangan, medis, dan sosial.

4. Menyukai aktivitas seksual yang berisiko
Pecandu seks lebih menyukai tantangan yang berisiko seperti bercinta di luar nikah, seks tanpa menggunakan kondom, bahkan ada juga yang terlibat dalam aktivitas seksual yang ilegal.

Waspada Ancaman Kesehatan karena Kurang Tidur Saat Jalani Ibadah Puasa

Saat bulan puasa, bukan hanya pola makan yang berubah tapi waktu tidur juga terganggu. Ini karena kita harus rutin bangun dini hari untuk melakukan makan sahur yang tentunya di luar jam tidur sehari-hari.
Selain itu, tidur malam pun akan semakin lambat dari biasanya karena banyak kegiatan yang ingin dilakukan seperti tarawih. Akibatnya, bisa membuat tubuh lesu bahkan mengganggu kesehatan mental dan fisik.

"Makan sahur sebelum jam 4 bisa menyebabkan kekacauan di tubuh. Akibatnya, bisa menimbulkan konsekuensi negatif pada kesehatan fisik dan mental seseorang," ujar psikiater di Priory Wellbeing Centre Dubai, Dr Walid Abdul-Hamid.

Mengutip dari Mvmuslim, ahli spesialis penyakit paru dan obat tidur di Medcare Hospital Dubai, Dr Hady Jerdak, mengatakan jika kurang tidur yang terjadi berulang-ulang bisa berbahaya untuk mental. Misalnya, meningkatkan kadar stres, perubahan mood, dan kecemasan yang berlebih.

"Itu (kurang tidur) juga bisa melemahkan sistem imun yang berfungsi untuk melawan virus, bisa meningkatkan risiko tekanan darah tinggi dan diabetes tipe 2, serta berbagai masalah yang terkait dengan penyakit jantung," jelasnya.

Agar hal tersebut tidak terjadi, Dr Abdul-Hamid memberikan beberapa saran, antara lain:

- Tidur dan bangun pada jam yang sama setiap harinya, baik lebih awal atau lambat dari jam tidur biasa.

- Hindari tidur siang.

- Jangan makan berlebihan sebelum tidur.

- Hindari konsumsi makanan cepat saji atau olahan, karena bisa mempengaruhi kualitas tidur.

- Sering-sering terkena sinar matahari pagi.

- Kurangi paparan sinar lampu saat akan tidur di malam hari.

5 Teori Konspirasi Paling Heboh Seputar Virus Corona

 Teori konspirasi selalu muncul dalam berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali seputar virus Corona. Sifat alamiah otak manusia memang membuatnya selalu tampak menarik dan bikin penasaran.
Psikiater dari RS Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor, dr Lahargo Kembaren, SpKJ, menjelaskan teori konspirasi tidak selalu bisa dipertanggungjawabkan karena mengabaikan fakta-fakta atau bukti yang ada. Disebutnya, teori konspirasi hanya sebatas mengandalkan argumen seseorang saja.

"Ketika dia dikonfrontir dengan data fakta dia akan ngeles," ungkapnya kepada detikcom Rabu (29/4/2020).

Apa saja sih teori konspirasi yang sempat ramai soal Corona? Berikut 5 teori konspirasi dengan bantahannya.

1. Berasal dari laboratorium Wuhan
Muncul pertama kali di Wuhan, virus Corona diyakini merupakan senjata biologis dari Wuhan, China, yang sengaja dilepaskan dari sebuah laboratorium dengan tujuan menyerang negara lain. Namun, hasil penelitian menyebutkan bahwa virus Corona ditularkan secara alami dari hewan seperti kelelawar.

"Dengan membandingkan data sekuens genom yang tersedia untuk strain virus Corona yang diketahui, kita dapat dengan tegas menentukan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses alami," kata Kristian Andersen, PhD, seorang profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research.

2. Virus Corona menyebar lewat jaringan 5G
Tak hanya itu, virus Corona juga disebut menyebar lewat jaringan 5G. Dampaknya, banyak orang yang akhirnya merusak beberapa tower 5G seperti misalnya di Inggris.

Informasi ini menyebabkan beberapa tower 5G di Inggris rusak karena dibakar oleh masyarakat. Orang yang membakar tower 5G tersebut termakan teori konspirasi jaringan 5G yang disebut bisa menyebarkan virus Corona atau COVID-19.

"Itu hanya omong kosong, omong kosong yang sangat berbahaya," ucap Menteri Kantor Kabinet Inggris, Michael Gove.

3. Virus Corona berasal dari luar angkasa
Seorang ilmuwan mengeluarkan pernyataan kontroversial. Disebutkan bahwa virus Corona yang saat ini mewabah di berbagai negara berasal dari luar angkasa dibawa oleh meteor yang meledak di China pada Oktober lalu.

Ilmuwan yang dimaksud adalah Profesor Chandra Wickramasinghe dari Buckingham Center for Astrobiology. Ia menduga ledakan meteor melepaskan partikel virus yang kemudian terperangkap di arus udara strastosfer yang mengelilingi Bumi.

Namun spesialis penyakit menular Dominic Sparkes dari University College London mengungkapkan, COVID-19 ini serupa dengan SARS dan MERS yang merupakan virus dari binatang.

"SARS ditemukan sebagai hasil dari kelelawar yang memindahkan virus ke musang yang pindah ke manusia, sementara MERS diketahui ditularkan dari unta ke manusia," tegasnya.

4. Senjata buatan pemerintah
Beberapa negara saling menuding negara lain sebagai biang kerok. China misalnya, menyebut bahwa virus Corona dibawa oleh Angkatan Darat AS.

Presiden Venezuela, Nicolás Maduro, menyebut bahwa virus Corona merupakan senjata biologis dari Amerika untuk China. Sementara di Iran, pejabat menuding pandemi Corona sebagai bagian dari skema politis untuk menekan angka pemungutan suara.

Di Italia, Matteo Salvini, pemimpin Partai Liga anti-migran Italia, meyakini bahwa virus Corona merupakan buatan China. Namun, semua klaim itu tidak memiliki bukti kuat sama sekali.

5. Buatan Bill Gates
Banyak tudingan yang mengatakan dalang di balik terjadinya pandemi virus Corona COVID-19 di dunia adalah Bill Gates. Ia dicurigai mempunyai agenda tertentu di balik pandemi ini. Alasan ini muncul lantaran Bill Gates ingin segara membuat vaksin virus Corona dan telah menggelontorkan sejumlah dana sebanyak USD 250 juta atau setara dengan 3 triliun rupiah.

Namun ia dengan tegas membantah tudingan tersebut. Ia mengatakan tindakannya tersebut semata-mata karena ingin membantu dunia menghadapi virus Corona.

"Saya katakan ironis jika Anda mengincar saseorang, yang melakukan yang terbaik untuk membuat dunia siap. Kita memang berada di situasi gila jadi akan ada rumor gila juga," kata Bill Gates.

Kesalahan Saat Sahur dan Berbuka yang Bikin Badan 'Tumbang' Saat Puasa

Terkadang saat sahur beberapa orang tidak memikirkan kandungan gizi pada makanan yang dikonsumsinya, karena yang terpenting adalah ia merasa kenyang dan siap menjalani puasa.
"Sahur itu juga bukan berarti kita makan gila-gilaan, kita jejelin yang namanya perut sampai kesannya sudah nggak kuat lagi karena sesak dengan segala macam nasi pakai tepung yang kayanya menurut kita tuh saving energy," kata ahli gizi komunitas dr Tan Shot Yen, Rabu (29/4/2020).

Menurut dr Tan, berbagai macam makanan berbahan dasar refined grain atau gandum halus seperti roti, mi, sereal, dan lain-lain bukanlah jenis karbohidrat yang dibutuhkan oleh tubuh. Karena makanan jenis ini bisa menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit di kemudian hari.

"Miskin serat, miskin antioksidan, cepat diubah jadi gula. Gula (darah) naik, insulin naik buat menekan gula darah agar tidak diabetes orangnya," jelasnya.

"Saat gula ditekan, disimpan sebagai cadangan dalam hati dan otot. Tapi cadangan di dua organ ini kecil banget, (sedangkan) cadangan terbesar tanpa limit adalah lemak," lanjutnya.

Ketika gula darah naik dan menjadi lemak di dalam tubuh, itu bisa meningkatkan risiko timbulnya diabetes, obesitas, hipertensi, dan sindroma metabolik atau kumpulan berbagai macam gejala penyakit secara bersamaan.

"Bahkan kekebalan tubuhnya hancur-hancuran dan risiko (terkena) COVID-19 meningkat," tuturnya.

5 Teori Konspirasi Paling Heboh Seputar Virus Corona

 Teori konspirasi selalu muncul dalam berbagai bidang kehidupan, tidak terkecuali seputar virus Corona. Sifat alamiah otak manusia memang membuatnya selalu tampak menarik dan bikin penasaran.
Psikiater dari RS Jiwa Marzoeki Mahdi Bogor, dr Lahargo Kembaren, SpKJ, menjelaskan teori konspirasi tidak selalu bisa dipertanggungjawabkan karena mengabaikan fakta-fakta atau bukti yang ada. Disebutnya, teori konspirasi hanya sebatas mengandalkan argumen seseorang saja.

"Ketika dia dikonfrontir dengan data fakta dia akan ngeles," ungkapnya kepada detikcom Rabu (29/4/2020).

Apa saja sih teori konspirasi yang sempat ramai soal Corona? Berikut 5 teori konspirasi dengan bantahannya.

1. Berasal dari laboratorium Wuhan
Muncul pertama kali di Wuhan, virus Corona diyakini merupakan senjata biologis dari Wuhan, China, yang sengaja dilepaskan dari sebuah laboratorium dengan tujuan menyerang negara lain. Namun, hasil penelitian menyebutkan bahwa virus Corona ditularkan secara alami dari hewan seperti kelelawar.

"Dengan membandingkan data sekuens genom yang tersedia untuk strain virus Corona yang diketahui, kita dapat dengan tegas menentukan bahwa SARS-CoV-2 berasal dari proses alami," kata Kristian Andersen, PhD, seorang profesor imunologi dan mikrobiologi di Scripps Research.

2. Virus Corona menyebar lewat jaringan 5G
Tak hanya itu, virus Corona juga disebut menyebar lewat jaringan 5G. Dampaknya, banyak orang yang akhirnya merusak beberapa tower 5G seperti misalnya di Inggris.

Informasi ini menyebabkan beberapa tower 5G di Inggris rusak karena dibakar oleh masyarakat. Orang yang membakar tower 5G tersebut termakan teori konspirasi jaringan 5G yang disebut bisa menyebarkan virus Corona atau COVID-19.

"Itu hanya omong kosong, omong kosong yang sangat berbahaya," ucap Menteri Kantor Kabinet Inggris, Michael Gove.

3. Virus Corona berasal dari luar angkasa
Seorang ilmuwan mengeluarkan pernyataan kontroversial. Disebutkan bahwa virus Corona yang saat ini mewabah di berbagai negara berasal dari luar angkasa dibawa oleh meteor yang meledak di China pada Oktober lalu.

Ilmuwan yang dimaksud adalah Profesor Chandra Wickramasinghe dari Buckingham Center for Astrobiology. Ia menduga ledakan meteor melepaskan partikel virus yang kemudian terperangkap di arus udara strastosfer yang mengelilingi Bumi.

Namun spesialis penyakit menular Dominic Sparkes dari University College London mengungkapkan, COVID-19 ini serupa dengan SARS dan MERS yang merupakan virus dari binatang.

"SARS ditemukan sebagai hasil dari kelelawar yang memindahkan virus ke musang yang pindah ke manusia, sementara MERS diketahui ditularkan dari unta ke manusia," tegasnya.

Peneliti Inggris Temukan Semprotan Hidung untuk Atasi Virus Corona

Para peneliti di University of St Andrews 'spin-out company telah melakukan penelitian dan menemukan semprotan hidung, yang dipercaya bisa mengobati infeksi virus Corona COVID-19. Mereka percaya bahwa alat ini bisa sebagai antivirus dan menghentikan virus sampai ke paru-paru, setelah dipastikan positif.
Perusahaan spin-out Universitas St Andrews, Pneumagen, ini telah melakukan tiga studi yang berbasis tes laboratorium secara terpisah untuk mengujinya. Hasilnya, alat ini bisa menghentikan virus SARS-CoV-2 yang diketahui sebagai penyebab dari COVID-19.

Dalam penelitian ini, para ahli menggunakan neumifil dan Modul Pengikat Karbohidrat multivalen (mCBM) dengan teknologi GlycoTarge. Neumifil dan mCBM ini pun sebelumnya sudah pernah dikembangkan untuk pengobatan infeksi saluran pernapasan, termasuk virus influenza (IFV), virus respiratory syncytial (RSV), dan virus Corona.

"Antivirus klasik seperti ini akan benar-benar bekerja untuk menyerang virus. Sedangkan alat kami akan menghambat virus agar tidak masuk ke dalam sel," kata peneliti utama dan profesor biologi di St Andrew, Gary Taylor.

Menurutnya, obat ini akan bekerja dengan menutup reseptor glykan pada saluran udara pernapasan. Dengan cara itu, virus tidak akan masuk dan bisa menjadi revolusi untuk obat infeksi saluran pernapasan.

Mengutip dari Daily Star, Glykan merupakan nama generik dari karbohidrat kompleks yang dibuat dari molekul karbohidrat atau gula. Glykan juga melapisi sel-sel yang ada dipermukaan virus tersebut.

"Dari hasil penelitian mCBM, menunjukkan bahwa pengikatan glykan bisa berpotensi mencegah dan mengobati infeksi yang disebabkan oleh COVID-19, ujar Kepala eksekutif Pneumagen, Douglas Thomson.

"Ini bisa memblokir akses virus ke sel paru-paru yang bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Kami dengan cepat akan memulai uji klinis untuk pencegahan dan pengobatan COVID-19," imbuhnya.

Kesalahan Saat Sahur dan Berbuka yang Bikin Badan 'Tumbang' Saat Puasa

Terkadang saat sahur beberapa orang tidak memikirkan kandungan gizi pada makanan yang dikonsumsinya, karena yang terpenting adalah ia merasa kenyang dan siap menjalani puasa.
"Sahur itu juga bukan berarti kita makan gila-gilaan, kita jejelin yang namanya perut sampai kesannya sudah nggak kuat lagi karena sesak dengan segala macam nasi pakai tepung yang kayanya menurut kita tuh saving energy," kata ahli gizi komunitas dr Tan Shot Yen, Rabu (29/4/2020).

Menurut dr Tan, berbagai macam makanan berbahan dasar refined grain atau gandum halus seperti roti, mi, sereal, dan lain-lain bukanlah jenis karbohidrat yang dibutuhkan oleh tubuh. Karena makanan jenis ini bisa menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit di kemudian hari.

"Miskin serat, miskin antioksidan, cepat diubah jadi gula. Gula (darah) naik, insulin naik buat menekan gula darah agar tidak diabetes orangnya," jelasnya.

"Saat gula ditekan, disimpan sebagai cadangan dalam hati dan otot. Tapi cadangan di dua organ ini kecil banget, (sedangkan) cadangan terbesar tanpa limit adalah lemak," lanjutnya.

Ketika gula darah naik dan menjadi lemak di dalam tubuh, itu bisa meningkatkan risiko timbulnya diabetes, obesitas, hipertensi, dan sindroma metabolik atau kumpulan berbagai macam gejala penyakit secara bersamaan.

"Bahkan kekebalan tubuhnya hancur-hancuran dan risiko (terkena) COVID-19 meningkat," tuturnya.

Uji Coba Remdesivir untuk Obati Corona, 50 Persen Pasien Membaik

Gilead Sciences mengatakan hasil uji coba obat Corona pada hari Rabu, menunjukkan setidaknya 50 persen pasien yang diobati dengan remdesivir selama lima hari membaik. Bahkan lebih dari setengahnya dilaporkan pulang dari rumah sakit dalam waktu dua minggu.
Ia juga mengatakan percobaan lain oleh Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) AS menunjukkan hasil yang sama. Meski belum diberikan rincian lebih lanjut terkait efek samping dari obat tersebut.

Pada Rabu kemarin, penasihat kesehatan White House, Dr Anthony Fauci, mengatakan uji coba obat remdesivir oleh NIAID, yang mendaftarkan sekitar 800 pasien, menunjukkan 'kabar baik'. Obat itu akan ditetapkan menjadi standar perawatan baru untuk pasien COVID-19.

"Efek positif yang jelas dalam mengurangi waktu untuk pulih," ujar Fauci kepada wartawan, dikutip dari CNBC pada Kamis (30/4/2020).

Sementara itu badan pengawas obat dan makanan AS (FDA), juga tengah berdiskusi dengan Gilead untuk membuat remdesivir tersedia dengan cepat untuk seluruh pasien Corona.

"Secepat mungkin, sebagaimana diperlukan," kata penasihat senior FDA, Michael Felberbaum.

Uji coba klinis Gilead yang lebih kecil melibatkan 397 pasien COVID-19 dengan kondisi parah. Studi ini meneliti dua kelompok pasien yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19.

Satu kelompok menerima pengobatan remdesivir selama lima hari, sementara kelompok lain tidak menerima pengobatan remdesivir, dan menjalani perawatan biasa selama 10 hari. Hasil dari kedua kelompok tersebut sama-sama bisa dipulangkan dalam 14 hari. Mereka mengatakan 64,5 persen dari pasien yang menerima pengobatan remdesivir lebih singkat menunjukkan hasil klinis yang sama dengan 53,8 persen kelompok pasien yang dirawat selama 10 hari.

"Data ini menggembirakan karena menunjukkan bahwa pasien yang menerima remdesivir dengan jangka waktu yang lebih pendek yaitu lima hari mengalami peningkatan klinis yang sama dengan pasien yang menerima pengobatan atau perawatan biasa selama 10 hari," kata Aruna Subramanian, pemimpin peneliti tersebut.

Peneliti Inggris Temukan Semprotan Hidung untuk Atasi Virus Corona

Para peneliti di University of St Andrews 'spin-out company telah melakukan penelitian dan menemukan semprotan hidung, yang dipercaya bisa mengobati infeksi virus Corona COVID-19. Mereka percaya bahwa alat ini bisa sebagai antivirus dan menghentikan virus sampai ke paru-paru, setelah dipastikan positif.
Perusahaan spin-out Universitas St Andrews, Pneumagen, ini telah melakukan tiga studi yang berbasis tes laboratorium secara terpisah untuk mengujinya. Hasilnya, alat ini bisa menghentikan virus SARS-CoV-2 yang diketahui sebagai penyebab dari COVID-19.

Dalam penelitian ini, para ahli menggunakan neumifil dan Modul Pengikat Karbohidrat multivalen (mCBM) dengan teknologi GlycoTarge. Neumifil dan mCBM ini pun sebelumnya sudah pernah dikembangkan untuk pengobatan infeksi saluran pernapasan, termasuk virus influenza (IFV), virus respiratory syncytial (RSV), dan virus Corona.

"Antivirus klasik seperti ini akan benar-benar bekerja untuk menyerang virus. Sedangkan alat kami akan menghambat virus agar tidak masuk ke dalam sel," kata peneliti utama dan profesor biologi di St Andrew, Gary Taylor.

Menurutnya, obat ini akan bekerja dengan menutup reseptor glykan pada saluran udara pernapasan. Dengan cara itu, virus tidak akan masuk dan bisa menjadi revolusi untuk obat infeksi saluran pernapasan.

Mengutip dari Daily Star, Glykan merupakan nama generik dari karbohidrat kompleks yang dibuat dari molekul karbohidrat atau gula. Glykan juga melapisi sel-sel yang ada dipermukaan virus tersebut.

"Dari hasil penelitian mCBM, menunjukkan bahwa pengikatan glykan bisa berpotensi mencegah dan mengobati infeksi yang disebabkan oleh COVID-19, ujar Kepala eksekutif Pneumagen, Douglas Thomson.

"Ini bisa memblokir akses virus ke sel paru-paru yang bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan. Kami dengan cepat akan memulai uji klinis untuk pencegahan dan pengobatan COVID-19," imbuhnya.

Virus corona: Kapan vaksin Covid-19 tersedia, di tengah uji klinis yang telah dilakukan pada manusia?

Virus corona menyebar cepat namun sejauh ini masih belum ada obat untuk mengobati dan vaksin untuk melindungi orang-orang dari penyakit itu.

Para pakar kesehatan bekerja keras untuk segera menghasilkan vaksin.

Mengapa vaksin virus corona penting?
Dengan begitu cepatnya virus menyebar dengan mudah, mayoritas penduduk dunia masih sangat rentan terhadap infeksi. Vaksin akan memberlikan perlindungan terhadap kekebalan tubuh orang dan memerangi virus.

Dengan adanya vaksin, karantina wilayah dapat secara aman dicabut dan jaga jarak juga lebih dilonggarkan.

Seperti apa kemajuan sejauh ini?
Penelitian terus berlangsung sampai saat ini. Sekitar 80 grup di seluruh dunia mulai melakukan penelitian vaksin dan sejumlah di antaranya telah masuk tahap uji klinis.

Percobaan terhadap manusia diumumkan bulan lalu oleh para ilmuwan di Seattle, Amerika Serikat. Hal ini sangat tidak biasa karena melompati percobaan terhadap hewan untuk menguji keefektifan.

Perusahaan farmasi Sanofi dan GSK bergabung untuk mengembangkan vaksin.

Ilmuwan Australia mulai menguji dua vaksin terhadap binatang. Inilah langkah yang paling komprehensif sejauh ini dengan menguji binatang. Para peneliti memperkirakan uji terhadap manusia akan dilakukan pada akhir April.

Para peneliti Universitas Oxford menjadwalkan dapat memproduksi satu juta dosis vaksin pada akhir September dan memulai uji pada manusia.

Namun belum diketahui seberapa efektif vaksin-vaksin ini.

Produksi vaksin biasanya memakan waktu bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun untuk dikembangkan.

Namun para peneliti berharap dapat mengembangkan dalam beberapa bulan ini.

Sebagian besar pakar memperkirakan kemungkinan vaksin tersedia pada pertengahan 2021, sekitar 12-18 bulan setelah virus baru merebak yang secara resmi disebut Sars-CoV-2.

Lankah ini merupakan capaian ilmiah luar biasa namun belum ada jaminan efektif.

Saat ini ada empat jenis virus corona yang berkembang. Virus ini menyebabkan pilek dan belum ada vaksin untuk empat virus itu.

Apa yang perlu kita ketahui tentang virus corona?
Hingga vaksin corona siap, pengobatan apa saja yang bisa kita lakukan?
Vaksin mencegah infeksi dan cara terbaik untuk melakukannya saat ini adalah menjaga higienitas yang baik.

Jika Anda terinfeksi oleh virus corona, maka bagi kebanyakan orang itu akan ringan. Ada beberapa obat anti-virus yang digunakan dalam uji klinis, tetapi kami tidak dapat mengatakan dengan pasti bahwa semua ini berhasil.

Bagaimana kita menciptakan vaksin?
Vaksin secara tidak berbahaya menunjukkan virus atau bakteri (atah bahkan bagian terkecil dari mereka) ke sistem kekebalan tubuh. Pertahanan tubuh mengenal mereka sebagai penyerang dan kemudian belajar bagaimana melawannya.

Kemudian, jika tubuh benar-benar terpapar, dia sudah tahu cara melawan infeksi.

Metode utama vaksinasi selama beberapa dekade terakhir adalah menggunakan virus aslinya.

Apakah vaksin dapat melindungi semua orang dengan segala umur?

Ya, hampir semua orang akan terlindungi, namun kemungkinannya akan berkurang bagi orang-orang dengan usia senja.

Hal itu bukan karena vaksin, namun karena sistem imunitas orang tua yang tidak merespon baik pada imunisasi.

Kita melihat ini setiap tahun dengan suntikan flu.

Semua obat-obatan, bahkan Paracetamol, memiliki efek samping. Tetapi tanpa uji klinis, tidak mungkin untuk mengetahui apa efek samping dari vaksin eksperimental.

Remdesivir Disebut 'Terbukti' Bantu Penyembuhan Pasien Corona

Ada bukti "jelas" bahwa sebuah obat dapat membantu orang pulih dari virus Corona, kata sejumlah pejabat AS.
Remdesivir memotong durasi gejala COVID-19 dari 15 hari menjadi 11 hari, berdasarkan hasil uji klinis di rumah sakit di seluruh dunia.

Rincian lengkap terkait ini belum dipublikasikan, tetapi para ahli mengatakan itu akan menjadi "hasil yang fantastis" jika dikonfirmasi. Mereka juga mewanti-wanti bahwa remdesivir bukan "peluru ajaib" untuk penyakit ini.

Obat yang mumpuni melawan COVID-19 diyakini akan menyelamatkan nyawa, mengurangi beban rumah sakit, dan memungkinkan pelonggaran karantina wilayah.

Remdesivir pada awalnya dikembangkan sebagai pengobatan Ebola. Obat itu adalah antivirus yang bekerja dengan menyerang enzim yang dibutuhkan virus agar dapat bereplikasi di dalam sel.

Uji coba dijalankan oleh Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular (NIAID) AS dan melibatkan 1.063 orang partisipan.

Beberapa pasien diberi obat, sementara yang lain menerima pengobatan plasebo.

Dr Anthony Fauci yang mengapalai NIAID mengatakan: "Data menunjukkan remdesivir memiliki dampak positif yang jelas dan signifikan dalam mengurangi waktu pemulihan."

Dia mengatakan hasilnya membuktikan "obat ini dapat memblokir virus Corona" dan "membuka pintu kenyataan bahwa kita sekarang memiliki kemampuan untuk mengobati" pasien.

Namun, dampaknya pada kematian masih tidak jelas.

Tingkat kematian mencapai 8% pada orang yang diberi remdesivir dan 11,6% pada mereka yang diberi plasebo, tetapi hasil ini tidak signifikan secara statistik. Artinya para ilmuwan tidak dapat mengetahui apakah perbedaan itu nyata.

Tidak jelas juga siapa yang diuntungkan dengan penggunaan obat ini.

Apakah obat itu akan mempercepat pemulihan pasien?

Atau apakah obat itu membuat pasien tidak perlu menerima perawatan intensif? Apakah obat ini bekerja lebih baik pada orang yang lebih muda atau lebih tua? Atau mereka yang dengan atau tanpa penyakit lain? Apakah pasien harus dirawat dini ketika virus dianggap memuncak di dalam tubuh?

Ini akan menjadi pertanyaan penting ketika rincian lengkap obat ini akhirnya diterbitkan, karena obat dapat memiliki manfaat ganda, yaitu menyelamatkan nyawa dan membantu melonggarkan lockdown.

Prof Mahesh Parmar, direktur MRC Clinical Trials Unit di UCL, yang telah mengawasi percobaan di Uni Eropa, mengatakan: "Sebelum obat ini tersedia lebih luas, sejumlah hal perlu dilakukan: data dan hasil percobaan perlu ditinjau oleh regulator untuk menilai apakah obat tersebut dapat dilisensikan. Kemudian obat itu perlu dinilai oleh otoritas kesehatan terkait di berbagai negara."

"Sementara itu, kami akan mengumpulkan data jangka panjang dari uji coba ini dan mencari tahu apakah obat itu juga bisa mencegah kematian akibat COVID-19."

Jika obat itu dapat membuat orang tidak memerlukan perawatan intensif, maka risiko rumah sakit kewalahan akan lebih kecil dan kebutuhan menjaga jarak sosial akan lebih sedikit diperlukan.

Prof Peter Horby, dari Universitas Oxford, saat ini menjalankan uji coba obat COVID-19 terbesar di dunia.

Dia mengatakan: "Kami perlu melihat hasil lengkap, tetapi jika dapat dikonfirmasi, ini akan menjadi hasil yang fantastis dan berita bagus untuk pertarungan melawan COVID-19."

"Langkah selanjutnya adalah mengeluarkan data lengkap dan mengusahakan akses yang adil untuk (distribusi) remdesivir."

Data AS tentang remdesivir keluar bersamaan dengan uji coba obat yang sama di China, yang dilaporkan dalam jurnal medis Lancet. Dilaporkan, obat itu tidak efektif.

Namun, percobaan itu tidak lengkap karena keberhasilan lockdown di Wuhan, yang berarti dokter kekurangan pasien.

"Data ini menjanjikan, dan mengingat bahwa kami belum memiliki pengobatan yang terbukti berhasil untuk COVID, ini mungkin mengarah pada persetujuan cepat remdesivir untuk pengobatan COVID," kata Prof Babak Javid, seorang konsultan penyakit menular di Cambridge University Hospitals.

"Namun, itu juga menunjukkan bahwa remdesivir bukan peluru ajaib dalam konteks ini: manfaat keseluruhan untuk bertahan hidup adalah 30%."

Obat lain yang sedang diselidiki untuk COVID-19 adalah obat untuk malaria dan HIV, yang dapat menyerang virus serta dapat menenangkan sistem kekebalan tubuh.

Anti-virus dipercaya mungkin lebih efektif pada tahap awal, dan obat-obatan kekebalan efektif di tahap selanjutnya.

Rabu, 29 April 2020

Lebih 'Asyik' Mana, Bercinta dengan Lampu Menyala atau Dimatikan?

 Saat berhubungan seks, ada sebagian pasangan yang lebih suka jika lampunya dimatikan atau dinyalakan. Kedua hal itu memang bisa memberikan sensasi tersendiri saat bercinta.
Dikutip dari Glamour, sebuah survei yang dilakukan Osram Sylvania menunjukkan sekitar 60 persen partisipan memilih bercinta dengan lampu menyala. Sementara itu 40 persen lainnya lebih suka bercinta dengan lampu dimatikan.

Bagi sebagian orang berhubungan seks dengan lampu menyala bisa memberikan sensasi melihat pasangan secara jelas ketika ia sedang bergairah.

"Ketika bisa saling menatap pasangan, ini membantu seseorang jadi lebih terbakar gairahnya," kata seorang terapis seks, Jane Greer.

Sedangkan bagi yang tidak suka lampunya dinyalakan saat bercinta, hal ini biasanya berkaitan dengan rasa tidak nyaman dan percaya diri. Sorotan lampu disebut-sebut dapat memperlihatkan kekurangan yang dimiliki pada tubuh.

"Sebenarnya kamu bisa mengatasi rasa tidak nyaman tersebut dengan cara fokus pada apa yang kamu dan pasangan suka pada tubuh masing-masing. Ini dapat menghilangkan rasa tidak percaya diri pada tampilan fisik," jelas Greer.

Meski begitu, Greer mengatakan ada sensasi tersendiri ketika bercinta dengan lampu dimatikan. Misalnya, berbagai indra selain penglihatan akan menjadi lebih sensitif dari biasanya.

AS Teliti Plasma Darah Pasien Sembuh untuk Obati Corona

Sejumlah negara mulai menguji terapi plasma darah dari pasien virus Corona COVID-19 yang sudah sembuh, sebagai terapi untuk mengobati pasien terinfeksi Corona. Amerika Serikat (AS) termasuk salah satu negara yang fokus meneliti metode terapi ini.
Dikutip dari laman BBC, di Inggris, NHS Blood and Transplant (NHSBT) meminta orang-orang yang sembuh dari COVID-19 untuk menyumbangkan darah sehingga lembaga kesehatan itu bisa menguji coba untuk terapi tersebut.

Harapannya, antibodi dalam plasma darah para penyintas bisa membantu melawan virus di tubuh orang yang sakit. AS telah memulai proyek besar-besaran untuk meneliti ini, yang melibatkan lebih dari 1.500 rumah sakit.

Proyek nasional ini dilakukan hanya dalam tiga pekan, dan sekitar 600 pasien telah menerima pengobatan. Profesor Michael Joyner, dari Mayo Clinic memimpin proyek ini.

"Hal yang kami pelajari dalam pekan pertama penelitian adalah tidak ada masalah keamanan besar yang muncul dan pemberian produk (plasma) tampaknya tidak menyebabkan banyak efek samping yang tak terduga," kata Joyner.

Hingga hari Selasa (28/4/2020) angka kematian AS yang disebabkan oleh virus Corona mencapai 56.253 jiwa, menurut Research Center Johns Hopkins University, dengan kasus positif yang terkonfirmasi sebanyak 988.469 jiwa.

Nyeri Maag Kambuh Saat Puasa? Simak Tips Berikut Ini

Gaya hidup sehari-hari sangat mempengaruhi kesehatan lambung. Mulai dari kebiasaan makan tidak teratur, mengonsumsi makanan pedas atau terlalu asam, minum minuman beralkohol, bersoda dan mengandung kafein, kurang aktifitas fisik, hingga stress yang dapat menyebabkan kadar asam lambung meningkat serta menyebabkan nyeri di ulu hati.
Sakit maag atau dikenal juga sebagai dyspepsia, merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup sering dialami oleh masyarakat Indonesia. Sindrom dyspepsia ini merupakan kumpulan gejala penyakit pada saluran cerna seperti nyeri ulu hati, kembung, rasa begah, rasa panas di dada dan di ulu hati, mual dan ingin muntah, rasa asam di mulut dan kerongkongan, serta sendawa berlebihan.

Lalu, apakah penderita maag bisa berpuasa dengan nyaman? Tentu saja bisa! Bagi penderita maag, berpuasa selama bulan Ramadhan memang bisa terasa berat terlebih pada saat awal puasa. Hal ini karena adanya perubahan pola makan yang meyebabkan saluran cerna harus beradaptasi sehingga kadang kala dapat menyebabkan keluhan gangguan pada lambung. Tapi, ini jangan dijadikan alasan untuk tidak menjalankan ibadah puasa.

Mantan Ketua IDI Kartono Muhammad Meninggal Dunia

Mantan Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Kartono Muhammad, meninggal dunia Selasa sore (28/4/2020). Kabar ini diumumkan PB IDI di media sosial.
"Innalillahi wa innailaihi rojiun, Kami PB IDI sangat berduka atas wafatnya senior sekaligus guru kami, mantan Ketum PB IDI per 85-88 & 91-94; dr. Kartono Muhammad," tulis PB IDI di akun Twitter.

PB IDI
@PBIDI
Innalillahi wa innailaihi rojiun, Kami PB IDI sangat berduka atas wafatnya senior sekaligus guru kami, mantan Ketum PB IDI per 85-88 & 91-94; dr. Kartono Muhammad. Mohon dimaafkan sgala kesalahan alm. semasa hidupnya. Smg Allah SWT menempatkan alm. pd tempat terindah di sisiNya..

Lihat gambar di Twitter
1.053
20.18 - 28 Apr 2020
Info dan privasi Iklan Twitter
591 orang memperbincangkan tentang ini

Kakak kandung penulis Goenawan Mohamad ini merupakan ketua umum ke-15 PB IDI saat ditetapkan untuk pertama kalinya pada 1985. Ia kembali disahkan sebagai ketua umum untuk kedua kalinya pada 1991 dalam muktamar di Yogyakarta.

Dalam kampanye pengendalian rokok dan tembakau, nama dr Kartono Muhammad juga cukup diperhitungkan. Di Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), ia sempat menjadi ketua dewan penasihat.

Lebih 'Asyik' Mana, Bercinta dengan Lampu Menyala atau Dimatikan?

 Saat berhubungan seks, ada sebagian pasangan yang lebih suka jika lampunya dimatikan atau dinyalakan. Kedua hal itu memang bisa memberikan sensasi tersendiri saat bercinta.
Dikutip dari Glamour, sebuah survei yang dilakukan Osram Sylvania menunjukkan sekitar 60 persen partisipan memilih bercinta dengan lampu menyala. Sementara itu 40 persen lainnya lebih suka bercinta dengan lampu dimatikan.

Bagi sebagian orang berhubungan seks dengan lampu menyala bisa memberikan sensasi melihat pasangan secara jelas ketika ia sedang bergairah.

"Ketika bisa saling menatap pasangan, ini membantu seseorang jadi lebih terbakar gairahnya," kata seorang terapis seks, Jane Greer.

Sedangkan bagi yang tidak suka lampunya dinyalakan saat bercinta, hal ini biasanya berkaitan dengan rasa tidak nyaman dan percaya diri. Sorotan lampu disebut-sebut dapat memperlihatkan kekurangan yang dimiliki pada tubuh.

"Sebenarnya kamu bisa mengatasi rasa tidak nyaman tersebut dengan cara fokus pada apa yang kamu dan pasangan suka pada tubuh masing-masing. Ini dapat menghilangkan rasa tidak percaya diri pada tampilan fisik," jelas Greer.

Meski begitu, Greer mengatakan ada sensasi tersendiri ketika bercinta dengan lampu dimatikan. Misalnya, berbagai indra selain penglihatan akan menjadi lebih sensitif dari biasanya.

AS Teliti Plasma Darah Pasien Sembuh untuk Obati Corona

Sejumlah negara mulai menguji terapi plasma darah dari pasien virus Corona COVID-19 yang sudah sembuh, sebagai terapi untuk mengobati pasien terinfeksi Corona. Amerika Serikat (AS) termasuk salah satu negara yang fokus meneliti metode terapi ini.
Dikutip dari laman BBC, di Inggris, NHS Blood and Transplant (NHSBT) meminta orang-orang yang sembuh dari COVID-19 untuk menyumbangkan darah sehingga lembaga kesehatan itu bisa menguji coba untuk terapi tersebut.

Harapannya, antibodi dalam plasma darah para penyintas bisa membantu melawan virus di tubuh orang yang sakit. AS telah memulai proyek besar-besaran untuk meneliti ini, yang melibatkan lebih dari 1.500 rumah sakit.

Proyek nasional ini dilakukan hanya dalam tiga pekan, dan sekitar 600 pasien telah menerima pengobatan. Profesor Michael Joyner, dari Mayo Clinic memimpin proyek ini.

"Hal yang kami pelajari dalam pekan pertama penelitian adalah tidak ada masalah keamanan besar yang muncul dan pemberian produk (plasma) tampaknya tidak menyebabkan banyak efek samping yang tak terduga," kata Joyner.

Hingga hari Selasa (28/4/2020) angka kematian AS yang disebabkan oleh virus Corona mencapai 56.253 jiwa, menurut Research Center Johns Hopkins University, dengan kasus positif yang terkonfirmasi sebanyak 988.469 jiwa.

5 Negara yang Lakukan Uji Coba Terapi Plasma Darah untuk Obati Corona

Terapi plasma darah diuji coba sejumlah negara untuk mengobati pasien virus Corona khususnya dalam kondisi kritis. Pengobatan dengan terapi plasma darah dilakukan dengan menyuntikkan plasma darah yang mengandung antibodi dari pasien sembuh Corona pada pasien COVID-19 yang masih berjuang melawan penyakit ini.
Sejumlah negara pun tengah menguji coba keampuhan dari terapi plasma darah, adapula yang sudah melaporkan keberhasilan dari terapi plasma darah. Berikut lima negara yang melakukan uji coba terapi plasma darah dirangkum detikcom dari berbagai sumber pada Rabu (29/4/2020).

Amerika Serikat
AS telah memulai proyek besar-besaran untuk meneliti terapi plasma darah dengan melibatkan lebih dari 1.500 rumah sakit. Proyek nasional ini dilakukan hanya dalam tiga pekan dan sekitar 600 pasien telah menerima pengobatan. Profesor Michael Joyner dari Mayo Clinic yang memimpin proyek ini.

"Hal yang kami pelajari dalam pekan pertama penelitian adalah tidak ada masalah keamanan besar yang muncul dan pemberian produk (plasma) tampaknya tidak menyebabkan banyak efek samping yang tak terduga," kata Joyner.

Inggris
Menurut Departemen Kesehatan Inggris, pemerintah tengah meningkatkan program nasional untuk mengumpulkan plasma sehingga pengobatan dapat digunakan secara luas jika terbukti efektif. Pengumpulan plasma darah akan ditingkatkan selama April hingga Mei guna mengirimkan hingga 10 ribu unit plasma darah ke Layanan Kesehatan Nasional Inggris (NHS) setiap pekan, yang cukup untuk merawat 5.000 pasien COVID-19 per pekan.

"Saya berharap setiap pengobatan ini akan menjadi tonggak utama dalam perjuangan kita melawan penyakit ini," kata Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock.

India
Pemerintah Karnataka, negara bagian India, pada Sabtu (25/4/2020) telah memulai uji klinis terapi plasma darah untuk pasien COVID-19 dengan kondisi kritis. Hal itu diumumkan oleh Menteri Pendidikan dan Kedokteran K Sudhakar melalui cuitan di akun Twitternya.

Terapi plasma darah COVID-19 merupakan metode penyembuhan dengan memanfaatkan darah pasien yang telah pulih. Harapannya antibodi dalam plasma darah penyintas bisa melawan virus ditubuh orang yang sakit.

"Senang mengumumkan dimulainya uji klinis untuk terapi plasma yang punya potensi besar untuk merawat pasien COVID-19 dengan skala berat," kata K Sudhakar.

Indonesia
Indonesia termasuk salah satu negara yang menguji coba terapi plasma darah. Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, dr Achmad Yurianto, mengatakan uji coba plasma darah di Indonesia sudah sudah berlangsung dua minggu.

"Masih clinical trial di RSPAD Gatot Subroto, masih uji coba klinis, itu bakal diuji coba langsung ke pasien. Sudah berlangsung dua mingguan," kata dr Yuri ketika dihubungi, Selasa (28/4/2020).

Iran
Mengutip dari Al Monitor, salah satu dari beberapa prosedur perawatan yang dinilai berhasil di Iran adalah terapi plasma darah. Terapi ini disebut meningkatkan tingkat pemulihan di unit perawatan intensif sebesar 40 persen. Terapi plasma darah didapatkan dari sumbangan plasma darah oleh mereka yang telah sembuh kepada seseorang yang tengah kritis.

"Kami memulai terapi plasma sekitar 40 hari yang lalu dan hingga saat ini, 300 orang telah menyumbangkan plasma darah mereka, dan hasilnya adalah penurunan 40 persen dalam jumlah kematian akibat virus corona," kata Dr Hassan Abolqasemi yang memimpin proyek terapi plasma dikutip dari Tehrantimes, Rabu (29/4/2020).

4 Alasan Perokok Rentan Alami Kondisi Fatal Virus Corona

Beberapa hal bisa menyebabkan seseorang rentan terhadap virus Corona COVID-19, mulai dari faktor usia hingga penyakit penyerta atau komorbid. Namun, salah satu hal yang sangat berpengaruh pada kondisi pasien Corona adalah kebiasaan merokok.
Dalam pemaparannya, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr dr Agus Dwi Susanto, SpP(K) menyebutkan bahwa perokok lebih berisiko terhadap virus Corona. Hal ini dibuktikan dengan data dari 12 penelitian di dunia yang menyebutkan dari 9.025 orang, sekitar 17,8 persen perokok lebih berisiko mengalami kondisi buruk.

"Sedangkan yang bukan perokok, hanya mengalami perburukan sebanyak 9,3 persen. Artinya, merokok hampir dua kali lipatnya meningkatkan risiko terjadinya perburukan dari COVID-19," katanya dalam webinar yang diselenggarakan pada Selasa (28/4/2020).

Berdasarkan hal itu, terdapat 4 alasan yang menjelaskan mengapa seorang perokok atau yang mempunyai kebiasaan merokok itu lebih mengalami kondisi fatal saat terinfeksi COVID-19.

1. Mengganggu sistem imunitas saluran pernapasan
Dalam hal ini, dr Agus mengatakan terdapat dua hal yang bisa menyebabkan rokok bisa mengganggu sistem imunitas saluran pernapasan. Pertama, adalah fungsi silia untuk membersihkan saluran pernapasan menjadi terganggu.

Silia berfungsi untuk menyaring dan membersihkan saluran pernapasan, sehingga bakteri dan virus akan dibuang melalui batuk. Tetapi, jika orang tersebut menghisap rokok sebanyak 2-3 kali, bisa melemahkan fungsi silia sebanyak 50 persen bahkan tidak berfungsi lagi.

Kedua, zat radikal seperti nikotin yang ada di dalam sebatang rokok bisa berpengaruh pada sel-sel imunitas tubuh manusia. Nikotin ini akan menekan fungsi sel imunitas seperti leukosit, untuk memerangi virus. Akibatnya, infeksi virus akan menjadi lebih berat.

2. Kadar ACE2 lebih tinggi pada perokok
Sebuah riset mengatakan bahwa seorang perokok bisa meningkatkan reseptor ACE2 sebanyak 50 persen. Hal ini dibuktikan dengan penelitian di Kanada, yang menunjukkan kadar ACE2 pada perokok lebih tinggi 3 kali lipat dibandingkan yang bukan perokok.

Peningkatan risiko buruk terkait COVID-19 juga ditemukan pada rokok bentuk lain, seperti shisha dan rokok elektronik lainnya yang bisa meningkatkan tekanan pada imunitas. Khusus pada shisha, penularan juga bisa lebih mudah melalui pipa yang digunakan secara bergantian.

Jika pipa itu digunakan orang yang terinfeksi, maka virus bisa terus menyebar ke banyak orang.

3. Memperparah penyakit penyerta
Rokok juga berhubungan dengan berbagai penyakit komorbid, yang bisa berisiko tinggi terhadap COVID-19. Seorang perokok bisa meningkatkan berbagai penyakit komorbid, seperti gagal jantung, hipertensi, koroner, PPOK, asma, diabetes, dan gagal ginjal. Bahkan bisa berisiko meninggal dunia.

Berdasarkan data dari RS Persahabatan, sebanyak 63 persen pasien COVID-19 mengidap penyakit komorbid. Tentunya dengan merokok bisa memancing penyakit komorbid bermunculan, sehingga kondisi COVID-19 dalam tubuh semakin memburuk. Beberapa penyakit komorbid yang menyebabkan pasien meninggal, antara lain:

- Hipertensi 30,4 persen
- Diabetes 21,7 persen
- Gagal jantung 4,3 persen
- Asma sekitar 2,2 persen
- dan yang tidak ada komorbidnya hanya sekitar 15 persen.

4. Risiko tangan terkontaminasi
Saat merokok, orang cenderung akan memegang mulut berkali-kali tanpa mencuci tangannya terlebih dulu. Hal ini bisa meningkatkan transmisi virus hingga menyebabkan infeksi COVID-19. Dengan kata lain, risiko terkontaminasi dari tangan bisa sangat besar terjadi.

Kasus Corona AS Tertinggi di Dunia, Trump Rencanakan Tes Corona bagi Para Turis

 Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tengah merencanakan tes Corona yang bagi setiap orang yang datang ke negaranya. Hal ini ia rencanakan karena melihat perkembangan kasus Corona di Brasil yang semakin meningkat.
"Kita mungkin akan melakukan itu. Brasil sudah cukup banyak mencatat kasus Corona. Kami akan segera mengambil keputusan," ujar Trump saat konferensi pers di Gedung Putih, Selasa (28/4/2020).

Terkait tes yang dimaksud, ia mengatakan akan melakukan pemeriksaan suhu dan tes virus Corona. Mengutip CNN, Trump menyebut ia sedang membahas rencananya ini dengan gubernur negara bagian Florida, Roy Desantis.

"Kami sedang melakukan pembahasan dengan orang lain yang menerima banyak kunjungan dari Amerika Selatan, Amerika Latin, dan kami akan membuat keputusan," katanya.

Menurut Trump, langkah tes Corona ini dilakukan bukan hanya di bandara. Namun ketika penumpang berada di pesawat akan dilakukan tes Corona serupa. Upayanya pun masih dalam tahap diskusi maskapai penerbangan.

Berdasarkan laporan data worldometers saat ini kasus positif di AS sebanyak 1.035.765 dengan kasus kematian sebanyak 59.266 dan sembuh 142.238 orang. Karenanya, hingga kini Amerika Serikat masih menjadi negara dengan angka pasien positif Corona tertinggi di dunia.

4 Alasan Perokok Rentan Alami Kondisi Fatal Virus Corona

Beberapa hal bisa menyebabkan seseorang rentan terhadap virus Corona COVID-19, mulai dari faktor usia hingga penyakit penyerta atau komorbid. Namun, salah satu hal yang sangat berpengaruh pada kondisi pasien Corona adalah kebiasaan merokok.
Dalam pemaparannya, Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Dr dr Agus Dwi Susanto, SpP(K) menyebutkan bahwa perokok lebih berisiko terhadap virus Corona. Hal ini dibuktikan dengan data dari 12 penelitian di dunia yang menyebutkan dari 9.025 orang, sekitar 17,8 persen perokok lebih berisiko mengalami kondisi buruk.

"Sedangkan yang bukan perokok, hanya mengalami perburukan sebanyak 9,3 persen. Artinya, merokok hampir dua kali lipatnya meningkatkan risiko terjadinya perburukan dari COVID-19," katanya dalam webinar yang diselenggarakan pada Selasa (28/4/2020).

Berdasarkan hal itu, terdapat 4 alasan yang menjelaskan mengapa seorang perokok atau yang mempunyai kebiasaan merokok itu lebih mengalami kondisi fatal saat terinfeksi COVID-19.

1. Mengganggu sistem imunitas saluran pernapasan
Dalam hal ini, dr Agus mengatakan terdapat dua hal yang bisa menyebabkan rokok bisa mengganggu sistem imunitas saluran pernapasan. Pertama, adalah fungsi silia untuk membersihkan saluran pernapasan menjadi terganggu.

Silia berfungsi untuk menyaring dan membersihkan saluran pernapasan, sehingga bakteri dan virus akan dibuang melalui batuk. Tetapi, jika orang tersebut menghisap rokok sebanyak 2-3 kali, bisa melemahkan fungsi silia sebanyak 50 persen bahkan tidak berfungsi lagi.

Kedua, zat radikal seperti nikotin yang ada di dalam sebatang rokok bisa berpengaruh pada sel-sel imunitas tubuh manusia. Nikotin ini akan menekan fungsi sel imunitas seperti leukosit, untuk memerangi virus. Akibatnya, infeksi virus akan menjadi lebih berat.

Pandemi Corona Diprediksi Dongkrak Angka Kehamilan

Pandemi virus Corona atau COVID-19 berdampak pada turunnya angka akseptor Keluarga Berencana (KB) di Kabupaten Sragen. Imbasnya, angka kehamilan diperkirakan mengalami kenaikan hingga 10 persen.
"Kenaikan angka kehamilan kami prediksi di kisaran 10 persen. Ini kan kita banyak di rumah, banyak PUS (pasangan usia subur) yang terkendala untuk keluar rumah. Pelayanan pemasangan alat KB juga terbatas," ujar Ketua Ikatan Penyuluh Keluarga Berencana (IPeKB) Sragen, Suwanto, dihubungi detikcom, Selasa (28/4/2020).

Suwanti menjelaskan, kebijakan social dan physical distancing menjadi faktor utama penyumbang potensi naiknya angka kehamilan. Ditambah dengan terkendalanya sosialisasi para penyuluh KB karena pertemuan-pertemuan yang bersifat mengumpulkan banyak orang, saat ini tidak bisa dilakukan.

"Di puskesmas, klinik dan rumah sakit, pelayanan pemasangan alat KB juga terbatas, paling-paling hanya maksimal 10 pasien per hari. Dan masyarakat kan juga sedang membatasi aktivitas keluar rumah," terangnya.

Berbagai faktor ini, lanjut Suwanto, membuat jumlah akseptor KB mengalami penurunan hingga 45 persen. Para penyuluh, kini harus memutar otak untuk menekan angka kehamilan serta mengatur jarak kehamilan.

"Prediksi kenaikan angka kehamilan ini menggunakan logika psikologi dalam menganalisa masyarakat. Mereka kesulitan ber-KB karena memang terbatas keluar. Kenaikan ini nanti akan kelihatan kalo sudah berjalan tujuh hingga sembilan bulan," imbuh dia.

Suwanto bersama 52 penyuluh KB di Kabupaten Sragen, kini menggencarkan sosialisasi door to door, dengan tetap mengedepankan imbauan pemerintah untuk jaga jarak. Selain itu, warga juga diberi imbauan untuk menggunakan cara kontrasepsi yang lebih terjangkau aksesnya, seperti kondom dan pil.

"Dulu sosialisasi kita kumpulkan ibu-ibu di posyandu. Tapi dengan keadaan seperti ini tidak bisa. Sekarang kita cari data dulu desa A jumlah PUS-nya berapa, kita datangi. Kita juga menambah suplai alat kontrasepsi seperti kondom dan pil ke bidan desa, agar warga bisa memperolehnya secara gratis," kata Suwanto.

Dihubungi terpisah, Plt Kepala Dinas Pengendalian Penduduk, Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Kabupaten Sragen, Joko Puryanto membenarkan penurunan jumlah akseptor KB di wilayahnya. Berdasarkan data DP2KBP3A, perbandingan jumlah akseptor KB triwulan pertama di tahun 2019 dan 2020 terjadi selisih 435 akseptor.

"Memang menurun. Di tahun 2019, sampai akhir Maret jumlah akseptor ada 2.145. Pada periode yang sama tahun ini, jumlahnya hanya 1.710 akseptor. Itu data akseptor fasilitas kesehatan pemerintah," terang Joko.

Sementara untuk akseptor di fasilitas swasta, juga terjadi penurunan, yakni dari 1.276 akseptor di triwulan pertama 2019, turun menjadi 1.181 di tahun ini. Pihaknya kini berupaya mengalihkan akseptor KB untuk sementara menggunakan kontrasepsi suntik, pil dan kondom. Upaya ini diimbangi dengan perluasan droping alat kontrasepsi yang dulunya hanya dilakukan di faskes BPJS, diperluas ke semua faskes yang terdaftar di kantor KB.

"Kita juga sedang upayakan bidan desa untuk bisa melakukan pemasangan impan atau IUD dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Intinya upaya-upaya sudah dilakukan untuk tetap mengontrol angka kehamilan," tegas Joko.

Serumah dengan Perokok Aktif Bisa Tingkatkan Risiko Infeksi Virus Corona

Pengendalian wabah COVID-19 tidak dapat dilakukan oleh aparat pemerintah saja, masyarakat juga harus berpartisipasi dalam gerakan penanggulangan virus Corona. Masyarakat bertanggung jawab langsung kepada keluarga, lingkungan terdekat mereka, untuk melakukan segala upaya dalam rangka menghentikan penularan COVID-19.
Dengan adanya PSBB, seluruh warga telah diminta untuk menjaga jarak dan melakukan sebagian besar aktivitas di rumah. Rumah saat ini menjadi pusat dari segala aktivitas selama masa pandemi. Jadi betapa pentingnya menjaga lingkungan rumah bersih dan sehat untuk seluruh anggota keluarga.

"Stay at home di rumah ditujukan untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 dan melindungi diri dan keluarga. Tapi coba dibayangkan apabila salah satu anggota keluarga adalah perokok. Rumah yang seharusnya berfungsi sebagai tempat perlindungan dari virus Corona menjadi tidak aman lagi bagi anggota keluarga lain," sebut Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia Esti Nurjadin, dalam webinar yang diselenggarakan Selasa (28/4/2020).

Dijelaskan bahwa reseptor yang mengikat virus Corona, atau ACE2, ditemukan tak hanya pada perokok aktif, tapi juga perokok pasif. Risiko tertular virus Corona bagi keduanya sangat tinggi terutama jika tinggal bersamaan.

Spesialis paru dari RSUP Persahabatan, dr Agus Dwi Susanto SpP(K), mengatakan, paparan rokok maupun asap rokok dapat mengganggu sistem imunitas saluran napas dan paru. Pada prinsipnya dampak kesehatan baik perokok aktif dan pasif sama-sama berbahaya jika dikaitkan dengan risiko COVID-19.

"Sama-sama menurunkan imunitas tubuh, mulai dari silianya terganggu sehingga risiko infeksi lebih tinggi," sebut dr Agus.

Perlu ada penekanan bahwa anggota keluarga yang tinggal bersama-sama dengan perokok juga akan meningkat risiko terkena virus Corona. Padahal kita tahu di rumah ada anak-anak, ada orang tua yang sepuh, yang semuanya masuk dalam kelompok rentan terinfeksi virus Corona.

"Anak-anak memiliki hak hidup sehat. Di sini lah tugas pemerintah memberikan perlindungan terhadap mereka. Oleh karena itu kami mengimbau pemerintah untuk menekankan KTR sampai ke rumah dan mengeluarkan aturan rumah tanpa rokok untuk memastikan rumah tempat yang aman untuk melakukan segala aktivitas dalam masa pandemi," pungkas Esti.

Pandemi Corona Diprediksi Dongkrak Angka Kehamilan

Pandemi virus Corona atau COVID-19 berdampak pada turunnya angka akseptor Keluarga Berencana (KB) di Kabupaten Sragen. Imbasnya, angka kehamilan diperkirakan mengalami kenaikan hingga 10 persen.
"Kenaikan angka kehamilan kami prediksi di kisaran 10 persen. Ini kan kita banyak di rumah, banyak PUS (pasangan usia subur) yang terkendala untuk keluar rumah. Pelayanan pemasangan alat KB juga terbatas," ujar Ketua Ikatan Penyuluh Keluarga Berencana (IPeKB) Sragen, Suwanto, dihubungi detikcom, Selasa (28/4/2020).

Suwanti menjelaskan, kebijakan social dan physical distancing menjadi faktor utama penyumbang potensi naiknya angka kehamilan. Ditambah dengan terkendalanya sosialisasi para penyuluh KB karena pertemuan-pertemuan yang bersifat mengumpulkan banyak orang, saat ini tidak bisa dilakukan.

"Di puskesmas, klinik dan rumah sakit, pelayanan pemasangan alat KB juga terbatas, paling-paling hanya maksimal 10 pasien per hari. Dan masyarakat kan juga sedang membatasi aktivitas keluar rumah," terangnya.

Berbagai faktor ini, lanjut Suwanto, membuat jumlah akseptor KB mengalami penurunan hingga 45 persen. Para penyuluh, kini harus memutar otak untuk menekan angka kehamilan serta mengatur jarak kehamilan.

"Prediksi kenaikan angka kehamilan ini menggunakan logika psikologi dalam menganalisa masyarakat. Mereka kesulitan ber-KB karena memang terbatas keluar. Kenaikan ini nanti akan kelihatan kalo sudah berjalan tujuh hingga sembilan bulan," imbuh dia.

Ilmuwan India Temukan Jenis Mutasi Virus Corona yang Paling Berbahaya

 Para ilmuwan di India telah mengidentifikasi jenis mutasi dari virus Corona COVID-19, yang disebut cepat menyebar dan menjadi dominan di seluruh dunia. Menurut mereka, virus ini setidaknya telah bermutasi menjadi 10 jenis yang berbeda, salah satu di antaranya disebut lebih berbahaya.
Jenis mutasi yang dinamai A2a oleh para ilmuwan ini dilaporkan jadi jenis yang berhasil cepat menyebar luas di tengah populasi manusia. Para ilmuwan di National Institute of Biomedical Genomics (NIBMG) India menyebut A2a ini jadi jenis yang lebih dominan muncul di dunia.

Strain A2a ini disebut jauh lebih berbahaya dibandingkan jenis virus asli dari China yang mereka sebut sebagai tipe O. Seorang ahli genetika senior di NIBMG, Partha Majumder, mengatakan bahwa mutasi A2a lebih efektif dalam menginfeksi manusia dibandingkan jenis mutasi lain.

"Kami percaya, bahwa jenis mutasi virus yang dominan menyebar di belahan dunia dan menyusup di tengah populasi manusia ini adalah A2a," kata Partha.

Dikutip dari Daily Star, Majumder mengatakan strain virus ini sudah diidentifikasi dan akan difokuskan oleh para ilmuwan untuk mendapatkan vaksin penangkalnya. Berdasarkan studi yang mereka lakukan, urutan genom atau jenis virus yang ditemukan dari 3.636 pasien COVID-19 di 55 negara, 51 persennya adalah strain A2a.

Bahkan pada bulan Februari dan Maret, studi NIBMG ini juga menunjukkan strain A2a ini lebih dominan ditemukan di Brasil, Kongo, Islandia, Italia, Spanyol, Inggris, dan Amerika Serikat. Namun, data dari China belum tersedia sejak akhir Februari lalu, sehingga para ilmuwan belum bisa memastikan apakah strain A2a ini juga menyebar di sana.

Serumah dengan Perokok Aktif Bisa Tingkatkan Risiko Infeksi Virus Corona

Pengendalian wabah COVID-19 tidak dapat dilakukan oleh aparat pemerintah saja, masyarakat juga harus berpartisipasi dalam gerakan penanggulangan virus Corona. Masyarakat bertanggung jawab langsung kepada keluarga, lingkungan terdekat mereka, untuk melakukan segala upaya dalam rangka menghentikan penularan COVID-19.
Dengan adanya PSBB, seluruh warga telah diminta untuk menjaga jarak dan melakukan sebagian besar aktivitas di rumah. Rumah saat ini menjadi pusat dari segala aktivitas selama masa pandemi. Jadi betapa pentingnya menjaga lingkungan rumah bersih dan sehat untuk seluruh anggota keluarga.

"Stay at home di rumah ditujukan untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 dan melindungi diri dan keluarga. Tapi coba dibayangkan apabila salah satu anggota keluarga adalah perokok. Rumah yang seharusnya berfungsi sebagai tempat perlindungan dari virus Corona menjadi tidak aman lagi bagi anggota keluarga lain," sebut Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia Esti Nurjadin, dalam webinar yang diselenggarakan Selasa (28/4/2020).

Dijelaskan bahwa reseptor yang mengikat virus Corona, atau ACE2, ditemukan tak hanya pada perokok aktif, tapi juga perokok pasif. Risiko tertular virus Corona bagi keduanya sangat tinggi terutama jika tinggal bersamaan.

Spesialis paru dari RSUP Persahabatan, dr Agus Dwi Susanto SpP(K), mengatakan, paparan rokok maupun asap rokok dapat mengganggu sistem imunitas saluran napas dan paru. Pada prinsipnya dampak kesehatan baik perokok aktif dan pasif sama-sama berbahaya jika dikaitkan dengan risiko COVID-19.

"Sama-sama menurunkan imunitas tubuh, mulai dari silianya terganggu sehingga risiko infeksi lebih tinggi," sebut dr Agus.

Perlu ada penekanan bahwa anggota keluarga yang tinggal bersama-sama dengan perokok juga akan meningkat risiko terkena virus Corona. Padahal kita tahu di rumah ada anak-anak, ada orang tua yang sepuh, yang semuanya masuk dalam kelompok rentan terinfeksi virus Corona.

"Anak-anak memiliki hak hidup sehat. Di sini lah tugas pemerintah memberikan perlindungan terhadap mereka. Oleh karena itu kami mengimbau pemerintah untuk menekankan KTR sampai ke rumah dan mengeluarkan aturan rumah tanpa rokok untuk memastikan rumah tempat yang aman untuk melakukan segala aktivitas dalam masa pandemi," pungkas Esti.