Teori konspirasi bermunculan di tengah pandemi virus Corona. Banyak di antaranya tampak meyakinkan, meski setelah ditelusur sumbernya sulit dipertanggungjawabkan.
Dokter ahli bedah saraf, dr Roslan Yusni Al Imam Hasan, SpBS, dari Mayapada Hospital Tangerang, menjelaskan bahwa hal ini berkaitan dengan kemampuan kognitif otak. Kemampuan inilah yang disebutnya membuat orang cenderung tertarik pada teori konspirasi.
"Ya memang begitulah cara kerja otak manusia. Secara evolusioner, kemampuan kognitif otak manusia adalah kemampuan pengenalan dan memetakan pola yang bisa secara efektif memberikan kemungkinan lebih besar untuk survive," ungkap dr Ryu, sapaan akrabnya, saat dihubungi detikcom, Rabu (29/4/2020).
"Di zaman purba, kemampuan otak manusia untuk memperkirakan cuaca, perilaku binatang buruan, kapan buah bisa dimakan, atau ancaman predator sangat penting memperbesar kemungkinan survivabilitas manusia," lanjutnya.
Cara kerja otak manusia, menurut dr Ryu, cenderung lebih mencari cara untuk bertahan dan selamat dari sesuatu yang membahayakan, dibandingkan harus memilih mencari tahu kebenarannya.
"Kalau rumput tinggi yang bergoyang-goyang, mungkin ada macan yg mendekat di baliknya atau ya hanya karena tiupan angin aja. Meyakini ada macan di balik rumput bergoyang, akan membuat orang ngibrit (berlari) menjauh secepatnya. Ini akan menyelamatkan hidup manusia itu, kalau keyakinannya benar," begitu analogi yang ia paparkan.
"Tapi kalau keyakinan ada itu macan ternyata salah, ya manusianya nggak rugi-rugi amat, paling ngos-ngosan saja dikit. Tapi kalau si manusia malah pengen verifikasi keyakinannya karena dia percaya itu hanya angin, matilah dia kalau ternyata itu macan," lanjutnya.
Maka menurutnya, tak heran jika sampai saat ini asumsi yang paling mengancam manusia lebih banyak muncul dibandingkan dengan asumsi lain. Pada akhirnya, ia menyebut segala cara rasional juga akan dicari orang tersebut untuk mendukung asumsi seperti teori konspirasi.
"Ya memang benar bahwa cara mengambil asumsi dan keputusan semacam ini bertolak belakang dengan metode pemikiran rasional (sains) yang membangun asumsi berdasarkan fakta yang ada. Tapi faktanya juga, ratusan ribu tahun manusia selamat tanpa sains. Jadi ya jangan heran kalau lebih banyak manusia yang berteori konspirasi ketimbang orang yang mendahulukan verifikasi. Karena memang begitulah cara kerja otak manusia," pungkasnya.
Haruskah Bahan Makanan Dicuci Pakai Sabun Agar Bebas Virus Corona?
Persediaan kebutuhan pokok seperti bahan makanan, buah, dan sayur perlu disiapkan selama menjalani puasa di tengah pandemi virus Corona. Tetapi untuk mencegah terjadinya penularan virus, apakah perlu mencuci bahan makanan dengan menggunakan sabun sebelum diolah?
Menurut ahli gizi komunitas dr Tan Shot Yen, hingga kini belum ada penelitian yang menyatakan bahan makanan bisa menjadi perantara penularan virus.
"Belum ada penelitian yang menyebut sayur dan buah atau belanjaan kalian itu sebagai media untuk penularan virus," kata dr Tan, Rabu (29/4/2020).
"Prinsipnya adalah justru sebelum dan sesudah kamu menyentuh makanan-makanan itu, kamu harus cuci tangan selama 20 detik dan mencucinya harus benar," lanjutnya.
dr Tan juga mengatakan jika bahan makanan dicuci menggunakan sabun atau antiseptik justru akan berbahaya bila tidak dicuci sampai bersih.
"Yang lebih bahayanya lagi adalah kalau mengolah makanan dengan segala cairan antiseptik dan sebagainya atau dengan sabun lalu itu tersisa di dalam makanan dan kalian makan, ya wasalam," tuturnya.