Senin, 20 April 2020

Ekonomi China Jatuh ke Level Terendah Dalam 1 Dekade Terakhir

Pandemi virus Corona telah menyeret ekonomi China ke level terendah dalam satu dekade belakangan. Tak hanya itu, proses pemulihan ekonomi China pun diyakini bakal memakan waktu cukup lama, namun, tetap bisa tumbuh tahun ini dibanding negara-negara Barat lainnya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah China baru saja mengumumkan pertumbuhan ekonomi negaranya yang anjlok hingga 6,8% pada kuartal I-2020 ini. Level itu bahkan lebih rendah daripada yang diperkirakan para analis sebelumnya. Kemerosotan ini adalah penurunan kuartal yang terburuk sejak tahun 1992. Ini juga adalah yang pertama kalinya China melaporkan kontraksi ekonomi sejak 1976 lalu. Saat itu, ekonomi China menurun sekitar 1,6%.

Tiga mesin utama pertumbuhan ekonomi China yakni konsumsi masyarakat, ekspor dan investasi aset tetap, sama-sama anjlok sejak diserang Corona. Belanja ritel turun 19% pada kuartal terakhir, sementara ekspor turun lebih dari 13% dan investasi aset tetap turun 16%.

Seorang ekonom dari Capital Economics, Julian Evans Pritchard menjelaskan bahwa meski saat ini pandemi di Negeri itu sudah mulai mereda, akan tetapi dari sisi ekonomi, masih jauh dari kata stabil. Bahkan, data perbaikan selama dua bulan pertama tahun ini menunjukkan pemulihan yang bersifat sementara saja. Menurutnya output dan ekspor industri tetap lemah karena negara-negara lain masih tertekan melawan Corona.

"Data Maret menambah tanda-tanda yang lebih luas bahwa ekonomi China melewati masa terburuknya," ujar Julian dikutip dari CNN Business, Senin (20/4/2020).

Ia bahkan percaya bahwa data sebenarnya dari kemerosotan ekonomi China bisa lebih parah dari yang diumumkan pemerintah. Dugaannya itu diperkuat dari tingkat pengangguran China yang terus menunjukkan peningkatan tajam setiap bulannya.

Hingga akhir Maret 2020, jumlah pengangguran di China bertambah hingga 3,6 juta jiwa dari data akhir tahun sebelumnya.

Menakar Kecukupan Anggaran Pemerintah Lawan Corona

Pemerintah sudah menganggarkan Rp 405,1 triliun untuk menanggulangi dampak virus Corona (COVID-19) ke perekonomian nasional. Anggaran tersebut setara 2,6% dari produk domestik bruto (PDB). Belum lagi ditambah stimulus I sebesar Rp 10,3 triliun dan stimulus II sebesar Rp 22,9 triliun.
Kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menduga dana penanggulangan virus Corona di Indonesia masih belum cukup. Sebab, ketidakpastian ekonomi akibat virus ini belum ada yang dapat memastikan selesai kapan.

"Apakah cukup? Kita tidak tahu, bahkan kita duga tidak akan cukup," kata Febrio dalam video conference di kantornya, Jakarta, Senin (20/4/2020).

Pemerintah, kata Febrio juga sudah menyiapkan beberapa skema jika anggaran tersebut terbukti tidak cukup untuk menanggulangi dampak virus Corona ke perekonomian nasional. Salah satu yang disiapkan pemerintah dengan menarik utang lantaran sudah mengusulkan pelebaran defisit APBN.

"Pemerintah juga siap siap kalau tidak cukup apa yang harus dilakukan. Karena tanda-tanda kita lihat mengkhawatirkan, makanya kita antisipasi," jelasnya.

Sementara Kepala Ekonomi Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan anggaran penanggulangan COVID-19 di Indonesia relatif lebih kecil dibandingkan dengan negara lain yang terdampak.

Meski lebih kecil, David menilai usaha pemerintah menanggulangi dampak Corona sudah sangat cepat, apalagi pada saat menyiapkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan.

"Tinggal sekarang bagaimana percepatan implementasi untuk mencegah supaya demand shock ini tidak berdampak buruk ke sektor riil," kata David.

David menilai, stimulus yang disediakan Indonesia masih kecil dibandingkan dengan negara tetangganya seperti Malaysia yang mencapai 17% dari PDB, Thailand 9% dari PDB, Singapura 12% dari PDB. Serta beberapa negara berkembang lainnya seperti Brazil sebesar 3,5% dari PDB, Australia 16,4% dari PDB, Jepang 20% dari PDB.

Selanjutnya Amerika Serikat (AS) sebesar 11% dari PDB, Kanada sebesar 8,4% dari PDB, Jerman sebesar 4,9% dari PDB, Saudi Arabia sebesar 2,7% dari PDB, Perancis sebesar 2% dari PDB, Turki sebesar 1,5% dari PDB, dan China sebesar 1,2% dari PDB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar