Minggu, 26 April 2020

Pekerja Seks 'Lampu Merah' di Jepang Dituding Sebarkan Virus Corona

Belasan pekerja seks di salah satu distrik 'lampu merah' terbesar di Jepang telah terinfeksi virus corona COVID-19. Hal ini dikhawatirkan menjadi penyebab meningkatnya kasus positif penyakit itu di Jepang.
Dikutip dari New York Post, pejabat di Kabukicho, Shinjuku, mengatakan peningkatan tajam jumlah kasus infeksi yang terjadi tampaknya berasal dari area hiburan orang dewasa. Sebagian besar berasal dari wanita yang bekerja di klub malam dan pria yang mencari pekerja seks.

Keintiman yang terjadi membuat penyebaran hampir tak terhindarkan, terlebih para pekerja seks yang tak mau bekerja sama untuk memberitahu dengan siapa mereka berhubungan.

Walikota Shinjuku, Kenichi Yoshizumi mengatakan fasilitas kesehatan di daerahnya sudah di ambang kewalahan dan mengimbau warganya untuk menghindari klub malam. Diperkirakan sekitar 300.000 orang mengunjungi 300 bisnis hiburan malam di Kabukicho setiap harinya.

Presiden Asosiasi Penyakit Infeksi Jepang, Kazuhiro Tateda mengatakan penyebaran virus corona di distrik hiburan malam sudah sangat serius.

"Ini terkait dengan kehidupan malam. Ini adalah distrik klub malam yang sangat sibuk di mana orang-orang berdekatan dan itu populer di kalangan pria paruh baya," ucap Tateda.

Pada hari Kamis (3/4/2020) jumlah infeksi virus corona di Jepang sudah mencapai 2.400 kasus dan 57 di antaranya meninggal dunia.

Ilmuwan Ini Sebut 'Physical Distancing' 1 Meter Masih Terlalu Dekat

 Pemerintah terus mengimbau masyarakat agar melakukan 'jaga jarak' atau physical distancing. Physical distancing yang dimaksud adalah menjaga jarak satu meter dengan pasien yang terinfeksi.
Imbauan ini berdasarkan panduan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyarankan agar saling menjaga jarak satu meter agar tak tertular virus corona COVID-19. Namun baru-baru ini beredar studi yang menyebut jarak physical distancing yang sebenarnya bukan satu meter.

Menurut Profesor MIT bernama Lydia Bourouib, yang meneliti dinamika batuk dan bersin bertahun-tahun, mengatakan dalam penelitian terbarunya kalau pedoman WHO didasari pada model lama di tahun 1930-an. Bourouiba mengingatkan kalau tetesan air liur yang mengandung patogen dari semua ukuran dapat menempuh jarak sekitar 7 hingga 8 meter jauhnya.

Berdasarkan penelitiannya yang diterbitkan Journal of American Medical Association pada 26 Maret lalu, ia juga menjelaskan droplet dapat berada di udara dalam waktu berjam-jam. "Sebuah laporan tahun 2020 dari China menunjukkan bahwa partikel virus coronavirus (SARS-CoV-2) dapat ditemukan dalam sistem ventilasi di kamar rumah sakit pasien dengan COVID-19," jelas Bourouiba.

"Penemuan partikel virus dalam sistem ini lebih konsisten dengan hipotesis penyebaran penyakit melalui awan gas turbulen ketimbang model dikotomi, karena menjelaskan bagaimana partikel virus dapat melakukan perjalanan jarak jauh dari pasien. Apakah data ini memiliki implikasi klinis sehubungan dengan COVID-19 belum diketahui," lanjutnya.

WHO pun menanggapi temuannya ini sebagai salah satu referensi yang dipertimbangkan untuk memperbaharui penelitian ilmiah tentang virus corona COVID-19.

"WHO dengan hati-hati memonitor bukti yang muncul tentang topik kritis ini dan akan memperbarui brief ilmiah ini ketika lebih banyak informasi tersedia," kata WHO, dikutip dari USA Today pada Jumat (3/4/2020).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar