Senin, 20 April 2020

Pendapatan Merosot, Bagaimana Kemampuan Pemerintah Bayar Utang?

Kemampuan pemerintah untuk membayar utang di tengah wabah virus Corona dipertanyakan oleh banyak kalangan. Sebab realisasi pendapatan negara dalam tiga bulan ini terus merosot.
Pemerintah belum lama ini menerbitkan surat utang berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) atau global bond senilai US$ 4,3 miliar. Ini penerbitan surat utang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Apalagi global bond ini memiliki tenor hingga 50 tahun yang menjadi jatuh tempo pelunasan utang terlama.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu mengatakan posisi Indonesia dalam mencari pembiayaan tidak sulit. Sebab, rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) masih aman di level 30% atau jauh dari batas 60%.

"Kita tidak berada di situasi sangat susah. Debt to GDP ratio masih 30%," kata Febrio dalam video conference di kantornya, Jakarta, Senin (20/4/2020).

Meski masih aman, Febrio mengaku akan melakukan pembiayaan melalui penarikan utang sangat hati-hati. Pasalnya setiap ada penambahan dalam jumlah besar pasti ada resiko yang harus diterima.

"Jadi walau kita dalam kondisi nyaman, kita tetap tidak bisa ceroboh dalam menaikkan ini secara tiba-tiba," jelasnya.

"Karena kita juga akui, kalau kita push untuk stimulus tapi stabilitas makro terganggu, back fire juga. Kalau rupiah gonjang-ganjing, careless dan inflasi tinggi. Ini semua harus dilihat dalam konteks lengkap," tambahnya.

Ekonomi China Jatuh ke Level Terendah Dalam 1 Dekade Terakhir

Pandemi virus Corona telah menyeret ekonomi China ke level terendah dalam satu dekade belakangan. Tak hanya itu, proses pemulihan ekonomi China pun diyakini bakal memakan waktu cukup lama, namun, tetap bisa tumbuh tahun ini dibanding negara-negara Barat lainnya.

Sebagaimana diketahui, pemerintah China baru saja mengumumkan pertumbuhan ekonomi negaranya yang anjlok hingga 6,8% pada kuartal I-2020 ini. Level itu bahkan lebih rendah daripada yang diperkirakan para analis sebelumnya. Kemerosotan ini adalah penurunan kuartal yang terburuk sejak tahun 1992. Ini juga adalah yang pertama kalinya China melaporkan kontraksi ekonomi sejak 1976 lalu. Saat itu, ekonomi China menurun sekitar 1,6%.

Tiga mesin utama pertumbuhan ekonomi China yakni konsumsi masyarakat, ekspor dan investasi aset tetap, sama-sama anjlok sejak diserang Corona. Belanja ritel turun 19% pada kuartal terakhir, sementara ekspor turun lebih dari 13% dan investasi aset tetap turun 16%.

Seorang ekonom dari Capital Economics, Julian Evans Pritchard menjelaskan bahwa meski saat ini pandemi di Negeri itu sudah mulai mereda, akan tetapi dari sisi ekonomi, masih jauh dari kata stabil. Bahkan, data perbaikan selama dua bulan pertama tahun ini menunjukkan pemulihan yang bersifat sementara saja. Menurutnya output dan ekspor industri tetap lemah karena negara-negara lain masih tertekan melawan Corona.

"Data Maret menambah tanda-tanda yang lebih luas bahwa ekonomi China melewati masa terburuknya," ujar Julian dikutip dari CNN Business, Senin (20/4/2020).

Ia bahkan percaya bahwa data sebenarnya dari kemerosotan ekonomi China bisa lebih parah dari yang diumumkan pemerintah. Dugaannya itu diperkuat dari tingkat pengangguran China yang terus menunjukkan peningkatan tajam setiap bulannya.

Hingga akhir Maret 2020, jumlah pengangguran di China bertambah hingga 3,6 juta jiwa dari data akhir tahun sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar